Senin, 29 Maret 2010

Pengakuan Soebandrio - GATRA

Majalah Berita Mingguan GATRA,
12 Agustus 1995.
LAPORAN UTAMA : Dana Revolusi.

Pengakuan Soebandrio

Soebandrio mengaku sangsi bahwa Dana Revolusi itu ada. Tapi,
anehnya, dia mencoba mencairkan dana di Union Bank of Switzer-
land.

HARI-hari menjelang pembebasannya, Soebandrio, 81 tahun, dis-
ibukkan oleh berita simpang-siur tentang Dana Revolusi. Dana itu
disebutkan hanya bisa dicairkan oleh bekas Wakil Perdana Menteri
I zaman pemerintahan Bung Karno itu. Grasi yang diterimanya malah
diisukan sebagai imbalan pemerintah atas kesediaannya mencairkan
dana tersebut. Di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Soebandrio
diwawancarai oleh Linda Djalil dari Gatra. Petikannya:

Bisa Anda jelaskan tentang Dana Revolusi yang diributkan orang?

Saya gembira diberi kesempatan memberi penjelasan tentang Dana
Revolusi. Hingga kini orang memberi keterangan mengenai dana itu
tanpa pengertian sebenarnya. Pengumpulan Dana Revolusi diputuskan
oleh Presiden Soekarno dan pemerintahan Djuanda. Ketika itu
keadaan keuangan negara sangat sulit dan anggaran belanja para
menteri sangat terbatas. Jika menteri kehabisan uang maka
dibutuhkan tambahan anggaran belanja. Ini makan waktu agak lama,
sampai beberapa bulan. Maka Menteri Keuangan diper- silakan
menyediakan Dana Revolusi dalam rupiah, dalam jumlah
terbatas. Keadaan keuangan negara waktu itu serba sulit,
separuh anggaran belanja negara dipakai untuk perjuangan merebut
Irian Barat kini: Irian Jaya. Para menteri yang sangat
membutuhkan uang mengajukan permintaan kepada menteri keuangan
yang meneliti permintaan itu.

Jika menteri keuangan setuju, kemudian harus diajukan kepada
Djuanda untuk mendapat pengesahannya. Setelah Bapak Djuanda
meninggal, saya dan Chairul Saleh diberi tugas memberi keputusan
terakhir tentang permintaan menteri.

Lalu?

Ya, kami berdua memberikan persetujuan. Misalnya untuk Menteri
Perindustrian Armunanto. Jumlahnya Rp 30 juta, atas rekomendasi
menteri keuangan.

Dana Revolusi itu sebenarnya disimpan di mana?

Dana itu dihebohkan disimpan di luar negeri atas nama saya.
Sebenarnya tak begitu. Dana Revolusi berwujud rupiah dan hanya
disimpan di bank dalam negeri, bukan di luar negeri.

Lalu Anda mengetahui adanya Dana Revolusi dari mana?

Semula saya sendiri lupa, tak pernah memikirkan apakah ada uang
sebanyak itu, yang disebut Dana Revolusi itu. Tiba-tiba,
kira-kira tahun 1980-an, seorang Malaysia bernama Musa datang ke
rumah menemui istri saya, Dyan (Sri Kusdyantinah, istri kedua
Soebandrio yang dinikahi tahun 1980 -- Red.). Saya sendiri sudah
hidup di penjara. Musa mengaku baru tahu bahwa saya masih hidup
setelah melihat foto kami.

Musa datang mengaku sebagai apa?

Sebagai nasabah Union Bank of Switzerland. Dia juga mengaku tahu
persis bahwa di bank Swiss itu ada deposito atas nama Dr.
Soebandrio sebanyak US$ 130 juta. Dia ceritakan kepada Dyan. Tapi
saya menganggap keterangan itu bohong dan sensasional.
Pemerintahan Soekarno sama sekali tak mempunyai dana untuk dis-
impan di Swiss. Saya pesan kepada istri saya untuk menjawab
begitu kalau ditemui Musa. Sebab saya yakin Dana Revolusi itu tak
mungkin ada.

Tapi kok akhirnya Anda percaya?

Begini ya. Namanya orang di dalam bui, tak bisa apa-apa, tak bisa
mengecek langsung. Sementara itu Musa tak putus asa dengan
jawaban istri saya. Dia berkali-kali berusaha menemui Dyan. Itu
berlangsung selama kira-kira satu tahun. Bahkan dia pernah datang
membawa seorang Swiss untuk membuktikan bahwa saya masih hidup
dan hukuman saya telah diubah dari vonis mati menjadi hukuman
seumur hidup. Musa terus membujuk. Dia berkata, kalau saya sudah
mati, dana itu akan menjadi milik Bank Swiss. Sayang sekali kalau
tak segera diambil.

Apa upaya Musa selanjutnya?

Dia mendesak istri saya agar membujuk saya untuk memberikan surat
keterangan bahwa deposito yang ada di Swiss memang atas nama
saya. Akhirnya saya bersedia memberi surat kuasa kepada Musa.
Isinya minta keterangan tertulis kepada Union Bank of
Switzerland, apakah benar deposito di bank tersebut memang atas
nama saya. Jadi justru saya yang mememinta keterangan, bukan saya
yang memberi keterangan. Saya juga tak mengatakan ingin menagih.

Jawaban mereka?

Ha, ha, ha, sampai sekarang keluarga saya belum menerima surat
jawaban dari UBS. Jadi saya belum tahu apakah benar di sana ada
deposito atas nama saya.

Siapa lagi yang pernah menyebut soal Dana Revolusi itu kepada
Anda?

Harry, keponakan saya dari istri pertama, dan bapaknya,
Hoepoedio. Mereka mengunjungi saya di penjara dan menganjurkan
supaya dana di Swiss itu diambil negara. Katanya, cukup dengan
surat kuasa saja kepada Harry untuk mengambil dana itu.
Permulaannya saya tak layani mereka.

Tapi mengapa Anda diam-diam juga melakukan penyelidikan, tanpa
melapor kepada pemerintah?
; Saya tidak diam-diam dan tak ada maksud jahat untuk "mem-
belakangi'' pemerintah. Kalau Musa merasa yakin, ya silakan cari.
Sebab saya sendiri belum yakin betul dana itu ada. Jadi untuk apa
diberitahukan kepada pemerintah kalau saya sendiri tak yakin? Iya
kalau ada. Kalau tidak, kan malu.

Kalau waktu itu memang ada, apakah Anda akan mengambil uang itu
untuk pribadi?

Sejak semula saya sudah niat, seandainya uang itu benar ada, akan
saya serahkan kepada negara. Saya sadar, itu bukan hak saya. Tak
ada uang pribadi saya sebanyak itu di luar negeri. Tak tebersit
sedikit pun mengambil uang orang lain. Saya narapidana yang ingin
bertobat dan hanya kepada Allah SWT hidup ini saya pasrahkan.

Tapi nyatanya Anda toh memberi kuasa kepada Musa untuk men-
cairkan uang US$ 35 juta?

Itu salah. Bukan US$ 35 juta, melainkan US$ 35 ribu. Dan itu
bukan uang Dana Revolusi. Itu uang dari rekening pribadi saya
sendiri, uang yang saya miliki di Swiss. Jumlahnya US$ 35 ribu.
Itu kan kecil. (Dokumen yang dimiliki Gatra menunjukkan bahwa
angka yang ditulis Soebandrio itu US$ 35 juta -- Red.). Sengaja
saya suruh Musa mengurusnya, sekalian untuk mengetes dia, apa
benar dia bisa. Ternyata uang itu pun tak bisa diambil. Sekali
lagi, saya tak mengutak-utik Dana Revolusi. Uang US$ 35 ribu itu
uang saya pribadi.

Kabarnya tanggal 27 Februari 1992 Anda memberi cek senilai US$ 1
juta kepada Musa untuk dicairkan di UBS. Anda juga meminta Musa
untuk mentransfer uang tersebut ke rekening Kus- dyantinah di
First National City Bank di Jalan Thamrin, Jakarta. Benar begitu?

Itu betul. Tapi cek itu juga tak berhasil dicairkan.

Dalam riuh Dana Revolusi ini muncul nama Nicholas James Con-
stantine? Siapa dia?

Saya menerima surat dari ahli hukum Swiss, ya itulah orangnya
(dari bahan yang diperoleh Gatra, Nicholas James Constantine
adalah pengacara di Chicago, Amerika Serikat -- Red.). Dia
mengatakan, saya punya deposito di UBS sebesar US$ 130 juta.
Deposito itu bisa diambil melalui sindikat Swiss, yaitu
organisasi perbankan di Swiss. Bantuan sindikat ini harus dibayar
dengan imbalan 40% dari jumlah deposito. Syarat lain, saya harus
dalam keadaan bebas dan harus datang sendiri ke Union Bank of
Switzerland di Jenewa.

Anda bertemu sendiri dengan orang itu?

Tidak. Istri saya yang bertemu dengannya. Tapi saya meminta Dyan
untuk menghindarinya. Sebab sejak kejadian Musa dulu, saya sudah
tak mau lagi mengurus uang yang disebut sebagai Dana Revolusi
itu. Saya menganjurkan agar istri saya tak lagi meng- gubris
berita sensasional itu. Oleh sebab itu Constantine berupaya
datang terus ke Jalan Imam Bonjol, tapi istri saya tak mau
menemuinya.

Bagaimana akhirnya bisa bertemu dengan Constantine?

Istri saya pernah diundang menghadiri acara pengajian di rumah
Ibu Nelly Adam Malik. Ya, istri saya datang. Tahu-tahu di sana
sudah ada Constantine yang sengaja menunggu. Ibu Nelly
sekonyong-konyong mempertemukan istri saya. Tentu saja istri saya
sangat kaget. Di situlah Constantine mulai menjelaskan kembali
deposito atas nama saya di Union Bank of Switzerland. Constantine
meminta Dyan membujuk saya untuk mencairkannya. Constantine
bilang, sayang sekali kalau deposito itu tak diam- bil dan akan
jatuh ke tangan bank itu. Bahkan Ibu Nelly ikut mempengaruhi.
Kepada istri saya, dia berkata, dosa lho kalau uang negara itu
didiamkan. Istri saya jadi bingung.

Apakah Constantine minta imbalan?

Tentu saja. Kepada istri saya, dia mengatakan bisa mengurus Dana
Revolusi asalkan diberi 40% dari hasil deposito yang bisa
dicairkan.

Tanggal 13 Februari 1986 Anda menulis surat kepada Presiden
Soeharto, memberitahukan tentang adanya Dana Revolusi itu?
Artinya Anda mengakui bahwa uang itu ada?

Saya serba salah. Tidak melapor, nanti salah. Diam, salah.
Akhirnya saya pikir melapor saja. Saya tulis surat ke Presiden.
Dalam surat itu pun saya mengatakan, sebagai warga negara yang
setia, saya ingin menyerahkan uang itu kepada pemerintah RI.

Dalam surat kepada Pak Harto, Anda memerinci jumlah dana di Union
Bank of Switzerland sebesar US$ 450 juta. Di Barcley Bank Inggris
ada emas senilai 125 juta poundsterling. Bukankah itu berarti
Anda tahu persis keberadaan dana itu?

Itulah kesalahan saya. Saya dan keluarga saya begitu dipengaruhi
orang luar. Dari tak percaya sampai akhirnya per- caya. Mengapa
saya menyebut angkanya kepada Pak Harto, itu karena saya bingung.
Banyak orang memberikan data itu berikut menyebutkan tempat
penyimpanannya. Mereka juga berkata, kalau saya tak mengaku akan
berdosa, yang akibatnya bisa fatal. Saya sebetulnya bukan tak mau
mengaku. Tapi saya memang sangsi barang itu ada.

Surat itu Anda tulis sesudah atau sebelum dihubungi oleh Con-
stantine?

Sesudah.

Anda pernah menyebut soal barter kebebasan dengan Dana Revolusi?

Sama sekali tidak. Itu fitnah belaka. Sebab sejak semula saya
sudah menganggap, uang itu -- kalau memang ada -- bukan milik
saya, bukan hak saya.

Anda memakai Pengacara Amin Arjoso?

Arjoso semula teman akrab Harry Hupudio -- kemenakan saya.
Setelah saya ditanya macam-macam tentang Dana Revolusi, Amin
yakin betul uang itu ada. Mereka minta surat kuasa dari saya dan
mengatakan sanggup mengambil uang itu asalkan dibayar 40%. Mereka
berjanji, istri saya akan diberi 10% dari deposito itu.
Permintaan mereka tak saya layani.

Hubungan Anda dengan Suhardiman?

Ketika saya menjadi Menteri Luar Negeri, dia sering datang ke
rumah saya untuk beramah-tamah. Pernah pula dia minta bantuan
untuk organisasi buruh SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan
Sosialis Indonesia, sekarang menjadi Sentral Organisasi Karyawan
Swadiri Indonesia -- Red.). Saya pun membantu. Ketika Dana
Revolusi diramaikan, dia mengatakan agar dana itu segera diambil
dan diserahkan kepada pemerintah. Saya tak patut meminta komisi.
Rupanya Suhardiman belum tahu bahwa jauh sebelumnya saya sudah
menulis surat kepada Presiden. Baru belakangan dia tahu.

Masih berhubungan dengan Musa ataupun Constantine?
Sama sekali tidak. Dan belum pernah sepotong surat pun yang
mereka bawa dari UBS. Sampai sekarang mereka ternyata tak bisa
membuktikan bahwa saya memiliki deposito di UBS. Jadi tak benar
ada Dana Revolusi atas nama saya.
.......................sekian dulu.........................$


Blog Dr: http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1995/08/10/0002.html

Soebandrio Tutup Usia

Soebandrio Tutup Usia

Sabtu, 03 Juli 2004 | 17:19 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Bekas Wakil Perdana Menteri I / Menteri Luar Negeri era Orde Lama, Soebandrio meninggal dunia, Sabtu (3/7) dinihari. Setelah disemayamkan di rumahnya di Jalan Jian Cipete Jakarta Selatan, jenazah Soebandrio dikuburkan di pemakaman Jeruk Purut, Jakarta Selatan, Sabtu (3/7) sore.

Seobandrio meninggal pada usia 90 tahun setelah selama enam bulan terbaring di rumahnya karena stroke. "Dia tidak mau dibawa ke rumah sakit," kata istrinya, Sri Kusdyantinah, 73 tahun.

Menurutnya, suaminya sudah mengalami stroke tiga kali sejak keluar dari penjara Cipinang pada 15 Agustus 1995. Serangan yang ketiga --mengakibatkan dia terjatuh terjerat sarung usai salat-- memaksa Soebandrio hanya terbaring saja.

Tanda-tanda ajal mendekat bukan tak dirasakan orang dekat Presiden Soekarno ini. Sebulan lalu, kata Sri, dalam keadaan tubuh yang lemah, Soebandrio sempat mengatakan ia tak kuat lagi melanjutkan hidup. "Tapi saya belum tega meninggalkan kamu," begitu katanya, seperti dikutip Sri.

Di mata Sri, suami yang menikahinya pada usia 64 tahun itu seorang teguh iman dan selalu menyerahkan segala persoalan pada Tuhan. "Ia orang yang menerima," katanya, "Sehelai daun jatuh pun itu kehendak Tuhan."

Sepajang pengetahuannya, Soebandrio tak pernah mengeluh dijebloskan ke penjara Cipinang dengan vonis hukuman mati oleh pemerintahan Orde Baru. "Tuhan ada maunya," katanya soal hukuman itu.

Selama 30 tahun dalam penjara, kata Sri, Soebandrio menghasilkan berlembar-lembar catatan harian yang ditulis dalam Bahasa Inggris dan Belanda. Catatan-catatan yang berisi tentang renungannya pada agama dan Tuhan itu kini masih tersimpan di rumahnya. Tapi, Soebandrio berniat menerbitkannya sebagai buku. Soebandrio sempat berniat membuat sebuah biografi yang ingin ditulisnya sendiri sekeluarnya dari Cipinang. "Tapi ia sudah tak kuat. Menyuruh orang lain menuliskannya pun ia tak mau," katanya.

Dalam sakitnya itu, sembari terbaring itu, kata Sri, Soebandrio masih tekun menyimak berita di koran dan televisi. Politisi-diplomat yang menguasai bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Prancis dan Rusia itu membaca berita-berita itu dengan seksama tanpa bantuan kacamata. Kadang ia juga mendiskusikan perkembangan berita itu dengan keluarga.

"Dia orang yang tabah," ini kesan Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono yang datang melawat. Menurut Hendro, ketabahan Soebandrio itu tercermin pada penerimannya mendekam di Cipinang. Selagi menjabat Panglima Kodam Jaya pada 1993/1994, Hendro kerap menyambangi tahanan politik, termasuk Seobandrio, di Cipinang. Tapi, Hendro mengaku, hubungan antara dirinya dengan Soebandrio hanya sebatas organisasi saja.

Soebandrio memang orang pertama yang memimpin Badan Pusat Intelijen, cikal bakal Badan Intelijen Negara seperti sekarang. Badan intelijen merupakan satu lembaga yang pernah disinggahi Soebandrio di samping puluhan jabatan lain semasa Orde Lama.

Seobandrio dikenal sebagai orang bisa menerjemahkan gagasan Seokarno dalam politik di dalam dan luar negeri. Laki-laki yang lahir di Kepanjen, Malang, tahun 1914 ini masuk dalam lingkaran politik selepas menamatkan studinya di Sekolah Kedokteran Tinggi Jakarta pada 1942 dengan masuk Partai Sosialis pimpinan Sutan Sjahrir.

Selama Oktober 1946-Juli 1947 ia ditunjuk sebagai Sekjen Kementerian Penerangan Kabinet Sjahrir. Setelah itu ia ditugaskan Wakil Indonesia di Inggris pada 1947-1949. Lalu, pada 1950-1954 ia memangku jabatan sebagai Duta Besar Indonesia di Inggris sebelum menjadi Dubes RI di Uni Sovyet hingga 1956. Ia ditarik kembali ke Jakarta dan mendapat jabatan baru sebagai Sekjen Kementrian Luar Negeri.

Akibat PSI kalah dalam Pemilu 1955, Soebandrio berubah haluan politik dan bergabung ke PNI. Karirnya makin berkibar setelah Soekarno menunjuknya sebagai Menteri Luar Negeri pada 1957. Sejak saat itu, Soebandriolah orang yang menyampaikan gagasan politik Seokarno ke dunia luar. Ia pernah berkata, seorang diplomat harus juga mengemban instrumen revolusi, sebuah cita-cita besar Bung Karno. Ia pula yang kemudian merumuskan poros "Jakarta-Pnom Penh-Hanoi-Beijing-Pyongyang" sebagai kebijakan politik luar negeri Indonesia pada 1960-an yang penuh ketegangan.

Pada 1965, G30S/PKI meletus. Soebandrio juga masuk daftar hitam Orde Baru hingga ia dipenjarakan di Cipinang bersama Panglima AURI Marsekal Oemar Dhani dan Kepala Staf BPI Brigjen Soegeng Soetarto. Pengadilan memutusnya bersalah karena dianggap orang yang membiarkan tergulingnya pemerintah yang sah, bukan sebagai tokoh PKI. Permohonan grasi pertamanya ditolak meski dikurangi hukumannya menjadi seumur hidup. Pada 1995, Presiden Seoharto menerima grasi kedua Seobandrio dkk dan sejak itu dibebaskan.

"Kebersamaan Bapak dalam keluarga hanya efektif sembilan tahun," kata Sri, yang pertama kali menerjemahkan karya-karya penyair Khalil Gibran dan futuris Alvin Toffler dalam bahasa Indonesia dan masih mengajar di Universitas Nasional. Seobandrio wafat meninggalkan satu anak, Budoyo Soebandrio (meninggal pada usia 37) dari istri pertamanya, dr Hurustiati Soebandrio yang juga meninggal, dan dua cucu. Soebandrio-Sri menikah pada 1978 setelah tiga tahun suami Sri, yang masih famili dengan Seobandrio, meninggal.

Bagja Hidayat - Tempo News Room

Blog Dr: http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/07/03/brk,20040703-13,id.html

Kesaksian Soebandrio Atas G-30-SPKI (II): Soeharto Bermain dari Balik Dewan Jenderal

Kesaksian Soebandrio Atas G-30-SPKI (II): Soeharto Bermain dari Balik Dewan
Jenderal

30 Sep 01 16:17 WIB (Astaga.com)

Isu Dewan Jenderal sebenarnya bersumber dari Angkatan Kelima dan rencana
sumbangan persenjataan gratis dari RRT. Tiga hal ini berkaitan erat. Tawaran
bantuan persenjataan gratis untuk sekitar 40 batalyon dari RRT, sebelumnya
diterima Bung Karno. Hanya tawaran yang diterima, barangnya belum dikirim.
Bung Karno lantas punya ide membentuk Angkatan Kelima. Tapi Bung Karno belum
merinci bentuk Angkatan Kelima itu. Ternyata Menpangad Letjen A Yani tidak
menyetujui ide mengenai Angkatan Kelima itu.
Para perwira ABRI lainnya mengikuti Yani, tidak setuju pada ide Bung Karno
itu. Empat angkatan dinilai sudah cukup. Karena itulah berkembang isu
mengenai adanya sekelompok perwira AD yang tidak puas terhadap Presiden. Isu
terus bergulir, sehingga kelompok perwira yang tidak puas terhadap Presiden
itu disebut "Dewan Jenderal".
Perkembangan isu selanjutnya adalah bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kup
terhadap Presiden.
Menjelang G30S meletus, Presiden memanggil Yani agar menghadap ke Istana.
Yani rupanya merasa bahwa ia akan dimarahi oleh Bung Karno karena tidak
menyetujui Angkatan Kelima. Yani malah sudah siap kursinya (Menpangad) akan
diberikan kepada orang lain. Saat itu juga beredar isu kuat bahwa kedudukan
Yani sebagai Menpangad akan digantikan oleh wakilnya, Mayjen Gatot Subroto.
Presiden Soekarno memerintahkan agar Yani menghadap ke Istana pada 1 Oktober
1965 pukul 08.00 WIB. Tetapi hanya beberapa jam sebelumnya Yani diculik dan
dibunuh.
Yang paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal itu adalah Letkol Untung
Samsuri. Sebagai salah satu komandan Pasukan Kawal Istana - Cakra Birawa -
ia memang harus tanggap terhadap segala kemungkinan yang membahayakan
keselamatan Presiden.
Untung gelisah. Lantas Untung punya rencana mendahului gerakan Dewan
Jenderal dengan cara menangkap mereka. Rencana ini disampaikan Untung kepada
Soeharto. Menanggapi itu Soeharto mendukung. Malah Untung dijanjikan akan
diberi bantuan pasukan. Ini diceritakan oleh Untung kepada saya saat kami
sama-sama ditahan di LP Cimahi, Bandung.
Saya menerima laporan mengenai isu Dewan Jenderal itu pertama kali dari
wakil saya di BPI (Badan Pusat Intelijen), tetapi sama sekali tidak lengkap.
Hanya dikatakan bahwa ada sekelompok jenderal AD yang disebut Dewan Jenderal
yang akan melakukan kup terhadap Presiden. Segera setelah menerima laporan,
langsung saya laporkan kepada Presiden.
Saya lantas berusaha mencari tahu lebih dalam. Saya bertanya langsung kepada
Letjen Ahmad Yani tentang hal itu. Jawab Yani ternyata enteng saja, memang
ada, tetapi itu Dewan yang bertugas merancang kepangkatan di Angkatan
Bersenjata dan bukan Dewan yang akan melakukan kudeta.
Masih tidak puas, saya bertanya kepada Brigjen Soepardjo (Pangkopur II).
Dari Soepardjo saya mendapat jawaban yang berbeda. Kata Soepardjo: Memang
benar. Sekarang Dewan Jenderal sudah siap membentuk menteri baru.
Pada 26 September 1965 muncul informasi yang lebih jelas lagi. Informasi itu
datang dari empat orang sipil. Mereka adalah Muchlis Bratanata, Nawawi
Nasution, Sumantri dan Agus Herman Simatupang.
Mereka cerita bahwa pada tanggal 21 September 1965 diadakan rapat Dewan
Jenderal di Gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta. Rapat itu membicarakan
antara lain: Mengesahkan kabinet versi Dewan Jenderal.
Muchlis tidak hanya bercerita, ia bahkan menunjukkan pita rekaman pembicaran
dalam rapat. Dalam rekaman tersebut ada suara Letjen S. Parman (salah satu
korban G30S) yang membacakan susunan kabinet.
Susunan kabinet versi Dewan Jenderal - menurut rekaman itu - adalah sebagai
berikut: Letjen AH Nasution sebagai Perdana Menteri Letjen A Yani sebagai
Waperdam-I (berarti menggantikan saya) merangkap Menteri Hankam, Mayjen MT
Haryono menjadi Menteri Luar Negeri, Mayjen Suprapto menjadi Menteri Dalam
Negeri, Letjen S Parman sendiri menjadi Menteri Kehakiman, Ibnu Sutowo
(kelak dijadikan Dirut Pertamina oleh Soeharto) menjadi menteri
Pertambangan.
Rekaman ini lantas saya serahkan kepada Bung Karno. Jelas rencana Dewan
Jenderal ini sangat peka dan sifatnya gawat bagi kelangsungan pemerintahan
Bung Karno. Seharusnya rencana ini masuk klasifikasi sangat rahasia. Tetapi
mengapa bisa dibocorkan oleh empat orang sipil? Saya menarik kesimpulan:
tiada lain kecuali sebagai alat provokasi. Jika alat provokasi, maka rekaman
itu palsu. Tujuannya untuk mematangkan suatu rencana besar yang semakin
jelas gambarannya. Bisa untuk mempengaruhi Untung akan semakin yakin bahwa
Dewan Jenderal - yang semula kabar angin - benar-benar ada.
Dokumen Gilchrist
Hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal, muncul Dokumen
Gilchrist. Dokumen ini sebenarnya adalah telegram (klasifikasi sangat
rahasia) dari Duta Besar Inggris untuk Indonesia di Jakarta Sir Andrew
Gilchrist kepada Kementrian Luar Negeri Inggris.
Dokumen itu bocor ketika hubungan Indonesia-Inggris sangat tegang akibat
konfrontasi Indonesia-Malaysia soal Borneo (sebagian wilayah Kalimantan).
Saat itu Malaysia adalah bekas koloni Inggris yang baru merdeka. Inggris
membantu Malayia mengirimkan pasukan ke Borneo.
Saya adalah orang yang pertama kali menerima Dokumen Gilchrist. Saya
mendapati dokumen itu sudah tergeletak di meja kerja saya. Dokumen sudah
dalam keadaan terbuka, mungkin karena sudah dibuka oleh staf saya. Menurut
laporan staf, surat itu dikirim oleh seorang kurir yang mengaku bernama
Kahar Muzakar, tanpa identitas lain, tanpa alamat. Namun berdasarkan
informasi yang saya terima, surat tersebut mulanya tersimpan di rumah Bill
Palmer, seorang Amerika yang tinggal di Jakarta dan menjadi distributor
film-film Amerika. Rumah Bill Palmer sering dijadikan bulan-bulanan
demonstrasi pemuda dari berbagai golongan. Para pemuda itu menentang
peredaran film porno yang diduga diedarkan dari rumah Palmer.
Isi dokumen itu saya nilai sangat gawat. Intinya: Andrew Gilchrist
melaporkan kepada atasannya di Kemlu Inggris yang mengarah pada dukungan
Inggris untuk menggulingkan Presiden Soekarno. Di sana ada pembicaraan
Gilchrist dengan seorang kolega Amerikanya tentang persiapan suatu operasi
militer di Indonesia.
Saya kutip salah satu paragraf yang berbunyi demikian: rencana ini cukup
dilakukan bersama 'our local army friends.' Sungguh gawat. Sebelumnya sudah
beredar buku yang berisi rencana Inggris dan AS untuk menyerang Indonesia.
Apalagi, pemerintah Inggris tidak pernah melontarkan bantahan, padahal sudah
mengetahui bahwa dokumen rahasia itu beredar di Indonesia. Saya selaku
kepala BPI mengerahkan intelijen untuk mencek otentisitas dokumen itu.
Hasilnya membuat saya yakin bahwa Dokumen Gilchrist itu otentik.
Akhirnya dokumen tersebut saya laporkan secara lengkap kepada Presiden
Soekarno. Reaksinya, beliau terkejut. Berkali-kali beliau bertanya keyakinan
saya terhadap keaslian dokumen itu. Dan berkali-kali pula saya jawab yakin
asli. Lantas beliau memanggil para panglima untuk membahasnya. Dari reaksi
Bung Karno saya menyimpulkan bahwa Dokumen Gilchrist tidak saja mencemaskan,
tetapi juga membakar.
Bung Karno sebagai target operasi seperti merasa terbakar. Namun sebagai
negarawan ulung, beliau sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kecemasan.
Menurut penglihatan saya, tentu Bung Karno cemas. Saya menyimpulkan, Bung
Karno sedang terbakar oleh provokasi itu.
Terlepas dari asli-tidaknya dokumen itu, saya menilai bahwa ini adalah alat
provokasi untuk memainkan TNI AD dalam situasi politik Indonesia yang memang
tidak stabil.
Saya mengatakan provokasi jika ditinjau dari dua hal. Pertama: isinya cukup
membuat orang yang menjadi sasaran merasa ngeri. Kedua, dokumen sengaja
dibocorkan agar jatuh ke tangan pendukung-pendukung Bung Karno dan PKI.
Bagaimana mungkin dokumen rahasia seperti itu berada di rumah Palmer yang
menjadi bulan-bulanan demo pemuda. Apakah itu bukan suatu cara provokasi?
Saya katakan jika Dokumen Gilchrist sebagai upaya provokasi, maka itu adalah
provokasi pertama.
Sedangkan provokasi kedua adalah isu Dewan Jenderal. Jika diukur dari
kebiasaan aktivitas terbuka, maka sumber utama dua alat provokasi itu memang
cukup rumit untuk dipastikan.
Soeharto Bermain dalam Keruh?
Di sisi lain, Soeharto juga bermain dalam isu Dewan Jenderal. Beberapa waktu
sebelum G30S meletus, Yoga diutus oleh Soeharto untuk menemui Mayjen S
Parman guna menyampaikan saran agar Parman berhati-hati karena isu bakal
adanya penculikan terhadap jenderal-jenderal sudah santer beredar. Namun
tidak ada yang tahu siapa yang menyebarkan isu seperti itu. Parman tidak
terlalu serius menanggapi saran itu, sebab itu hanya isu. Parman bertanya
kepada Yoga: Apakah pak Yoga sudah punya bukti-bukti? Yang ditanya menjawab:
Belum, pak. Lantas Parman menyarankan agar Yoga mencari bukti. Jangan hanya
percaya isu sebelum ada bukti, kata Parman. Yoga menyanggupi akan mencarikan
bukti.
Setelah G30S meletus, saya teringat saran Yoga kepada Parman itu. Yoga
adalah anggota Trio Soeharto. Saya kemudian berkesimpulan bahwa informasi
yang disampaikan oleh Yoga kepada Parman itu bertujuan untuk mengetahui
reaksi Parman yang dikenal dekat dengan Yani. Info tersebut tentu untuk
memancing, apakah Parman sudah tahu. Sekaligus - jika memungkinkan -
mengungkap seberapa jauh antisipasi Parman terhadap isu tersebut. Dan karena
Parman adalah teman dekat Yani, reaksi Parman ini bisa disimpulkan sebagai
mewakili persiapan Yani.
Dengan reaksi Parman seperti itu, maka bisa disimpulkan bahwa Parman sama
sekali tidak mengantisipasi arah selanjutnya jika seandainya Dewan Jenderal
benar-benar ada. Parman tidak siap meghadapi kemungkinan yang bakal terjadi
selanjutnya. Ini juga bisa disimpulkan bahwa Yani juga tidak siap. Jika
inisaya kaitkan dengan pertanyaan saya pada Yani soal isu Dewan Jenderal,
maka jelas-jelas bahwa Yani tidak punya persiapan sama sekali.
Intinya, info dari Yoga kepada Parman berbalas info, sehingga kelompok
Soeharto mendapatkan info bahwa kelompok Yani sama sekali belum siap
mengantisipasi kemungkinan terjadinya penculikan. Lebih jauh, rencana
Soeharto melakukan gerakan dengan memanfaatkan Kolonel Latief dan
memanipulasi kelompok Letkol Untung, belum tercium oleh kelompok lawan:
Kelompok Yani.
Jika seandainya gerakan gagal mencapai tujuan (khususnya bila Parman tidak
berhasil dibunuh), maka peringatan Yoga akan lain maknanya. Peringatan itu
bisa berubah menjadi jasa Soeharto menyelamatkan Parman. Maka Soeharto tetap
tampil sebagai pahlawan.
Jadi tindakan Soeharto ini benar-benar strategis. Sudah dihitung dengan
cermat. Banyak yang memperkirakan Soeharto berada dibelakang tragedi 30
September. Terlebih, dengan sangat cantik sekali kemudian Soeharto
menganmbil alih tumpuk pimpinan nasional. Tidak lama lagi kita juga lihat
catatan Bennedict Anderson sekitar tragedi tersebut. Yang jelas, semakin
terkuak keterlibatan orang tertentu dalam tragedi yang memilukan itu.
(**mahrus)

Blog Dr: http://groups.yahoo.com/group/milis-spiritual/message/17352

G-30-S versi Soebandrio - (2) BAB II: GERAKAN YANG DIPELINTIR BUNG KARNO MASUK ANGIN

G-30-S versi Soebandrio - (2)
BAB II: GERAKAN YANG DIPELINTIR
BUNG KARNO MASUK ANGIN

Ada peristiwa kecil, namun dibesar-besarkan oleh
Kelompok Bayangan Soeharto, sehingga kemudian menjadi sangat penting dalam sejarah Indonesia. Peristiwa itu
adalah sakitnya Bung Karno pada awal Agustus 1965.
Dalam buku-buku sejarah banyak ditulis bahwa sakitnya
Bung Karno pada saat itu adalah sangat berat.
Dikabarkan, pimpinan PKI DN Aidit sampai mendatangkan
dokter dari RRT. Dokter RRT yang memeriksa Bung Karno
menyatakan bahwa Bung Karno sedang kritis. Intinya,
jika tidak meninggal dunia, Bung Karno dipastikan
bakal lumpuh. Ini menggambarkan bahwa Bung Karno saat
itu benar-benar sakit parah.
Dari peristiwa itu (seperti ditulis di berbagai buku)
lantas dianalisis bahwa PKI -yang saat itu berhubungan
mesra dengan Bung Karno - merasa khawatir pimpinan
nasional bakal beralih ke tangan orang AD. PKI tentu
tidak menghendaki hal itu, mengingat PKI sudah
bermusuhan dengan AD sejak pemberontakan PKI di
Madiun, 1948. Menurut analisis tersebut, begitu PKI
mengetahui bahwa Bung Karno sakit keras, mereka
menyusun kekuatan untuk merebut kekuasaan. Akhirnya
meletus G30S.
Ini alibi rekayasa Soeharto yang mendasari tuduhan
bahwa PKI adalah dalang G30S. Ini juga ditulis di
banyak buku, sebab memang hanya itu informasi yang ada
dan tidak dapat dikonfirmasi, karena pelakunya - Bung
Karno, DN Aidit dan dokter RRT -ketiga-tiganya tidak
dapat memberikan keterangan sebagai bahan
perbandingan. Bung Karno ditahan sampai meninggal.
Aidit ditembak mati tanpa proses pengadilan; sedangkan
dokter RRT itu tidak jelas keberadaannya. Itulah
sejarah versi plintiran.
Tetapi ada saksi lain selain tiga orang itu, yakni
saya sendiri dan Wakil Perdana Menteri-II, dr.
Leimena. Jangan lupa, saya adalah dokter yang
sekaligus dekat dengan Bung Karno. Saya juga
mengetahui secara persis peristiwa kecil itu.
Yang benar demikian: memang Bung Karno diperiksa oleh
seorang dokter Cina yang dibawa oleh Aidit, tetapi
dokternya bukan didatangkan dari RRT, melainkan dokter
Cina dari Kebayoran Baru, Jakarta, yang dibawa oleh
Aidit. Fakta lain: Bung Karno sebelum dan sesudah
diperiksa dokter itu juga saya periksa. Pemeriksaan
yang saya lakukan didampingi oleh dr. Leimena. Jadi
ada tiga dokter yang memeriksa Bung Karno.
Penyakit Bung Karno saat itu adalah: masuk angin. Ini
jelas dan dokter Cina itu juga mengatakan kepada Bung
Karno di hadapan saya dan Leimena bahwa Bung Karno
hanya masuk angin. DN Aidit juga mengetahui penyakit
Bung Karno ini. Mengenai penyebabnya, sayalah yang
tahu. Beberapa malam sebelumnya, Bung Karno
jalan-jalan meninjau beberapa pasar di Jakarta.
Tujuannya adalah melihat langsung harga bahan
kebutuhan pokok. Jalan keluar-masuk pasar di malam
hari tanpa pengawalan yang memadai sering dilakukan
Bung Karno. Nah, itulah penyebab masuk angin.
Tetapi kabar yang beredar adalah bahwa Bung Karno
sakit parah. Lantas disimpulkan bahwa karena itu PKI
kemudian menyusun kekuatan untuk mengambil-alih
kepemimpinan nasional. Akhirnya meletus G30S yang
didalangi oleh PKI.
Kabar itu sama sekali tidak benar. DN Aidit tahu
kondisi sebenarnya. Ini berarti bahwa kelompok
Soeharto sengaja menciptakan isu yang secara logika
membenarkan PKI berontak atau menyebarkan kesan
(image) bahwa dengan cerita itu PKI memiliki alasan
untuk melakukan kudeta.
Ketika Kamaruzaman alias Sjam diadili, ia memperkuat
dongeng kelompok Soeharto. Sjam adalah kepala Biro
Khusus PKI sekaligus perwira intelijen AD. Sjam
mengaku bahwa ketika Bung Karno jatuh sakit, ia
dipanggil oleh Aidit ke rumahnya pada tanggal 12
Agustus 1965. Ia mengaku bahwa dirinya diberitahu oleh
Aidit mengenai seriusnya sakit Presiden dan adanya
kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera
apabila Bung Karno meninggal. Masih menurut Sjam,
Aidit memerintahkan dia untuk meninjau kekuatan kita
dan mempersiapkan suatu gerakan. Pengakuan Sjam ini
menjadi rujukan di banyak buku.
Tidak ada balance, tidak ada pembanding. Yang bisa
memberikan balance sebenarnya ada lima orang yaitu
Bung Karno, Aidit, dokter Cina (saya lupa namanya),
Leimena dan saya sendiri. Tetapi setelah meletus G30S
semuanya dalam posisi lemah. Ketika diadili, saya
tidak diadili dengan tuduhan terlibat G30S, sehingga
tidak relevan saya ungkapkan.
Kini saya katakan, semua buku yang menyajikan cerita
sakitnya Bung Karno itu tidak benar. Aidit tahu persis
bahwa Bung Karno hanya masuk angin, sehingga tidak
masuk akal jika ia memerintahkan anak buahnya, Sjam,
untuk menyiapkan suatu gerakan. Ini jika ditinjau dari
logika: PKI ingin mendahului merebut kekuasaan sebelum
sakitnya Bung Karno semakin parah dan kekuasaan akan
direbut oleh AD. Logikanya, Aidit akan tenang-tenang
saja, sebab bukankah Bung Karno sudah akrab dengan
PKI? Mengapa PKI perlu menyiapkan gerakan di saat
mereka disayangi oleh Presiden Soekarno yang segar
bugar?
Intinya, pada bulan Agustus 1965 kelompok bayangan
Soeharto jelas kelihatan ingin secepatnya memukul PKI.
Caranya, mereka melontarkan provokasi-provokasi
seperti itu. Provokasi adalah cara perjuangan yang
digunakan oleh para jenderal AD kanan untuk mendorong
PKI mendahului memukul AD. Ini taktik untuk merebut
legitimasi rakyat. Jika PKI memukul AD, maka PKI
ibarat dijebak masuk ladang pembantaian (killing
field). Sebab, AD akan - dengan seolah-olah terpaksa -
membalas serangan PKI. Dan, serangan AD terhadap PKI
ini malah didukung rakyat, sebab seolah-olah hanya
membalas. Ini taktik AD Kubu Soeharto untuk menggulung
PKI. Jangan lupa, PKI saat itu memiliki massa yang
sangat besar, sehingga tidak dapat ditumpas begitu
saja tanpa taktik yang canggih.
Tetapi PKI tidak juga terpancing. Pelatuk tidak juga
ditarik meskipun PKI sudah diprovokasi sedemikian
rupa. Mungkin PKI sadar bahwa mereka sedang dijebak.
Peran Aidit sangat besar, dengan tidak memberikan
instruksi kepada anggotanya. Tetapi toh akhirnya PKI
dituduh mendalangi G30S, walaupun keterlibatan
langsung PKI dalam peristiwa itu belum pernah diungkap
secara jelas.
Pelaku G30S adalah tentara dan gerakan itu didukung
oleh Soeharto yang juga tentara. Sedangkan Aidit
langsung ditembak mati tanpa proses pengadilan.
DEWAN JENDERAL
Isu Dewan Jenderal sebenarnya bersumber dari Angkatan
Kelima. Dan seperti diungkap di bagian terdahulu,
Angkatan Kelima bersumber dari rencana sumbangan
persenjataan gratis dari RRT. Tiga hal ini berkaitan
erat. Pada bagian terdahulu diungkapkan bahwa tawaran
bantuan persenjataan gratis untuk sekitar 40 batalyon
dari RRT diterima Bung Karno. Hanya tawaran yang
diterima, barangnya belum dikirim. Bung Karno lantas
punya ide membentuk Angkatan Kelima. Tapi Bung Karno
belum merinci bentuk Angkatan Kelima itu.
Ternyata Menpangad Letjen A Yani tidak menyetujui ide
mengenai Angkatan Kelima itu.
Para perwira ABRI lainnya mengikuti Yani, tidak setuju
pada ide Bung Karno itu. Empat angkatan dinilai sudah
cukup. Karena itulah berkembang isu mengenai adanya
sekelompok perwira AD yang tidak puas terhadap
Presiden. Isu terus bergulir, sehingga kelompok
perwira yang tidak puas terhadap Presiden itu disebut
Dewan Jenderal. Perkembangan isu selanjutnya adalah
bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kup terhadap
Presiden.
Menjelang G30S meletus, Presiden memanggil Yani agar
menghadap ke Istana. Yani rupanya merasa bahwa ia akan
dimarahi oleh Bung Karno karena tidak menyetujui
Angkatan Kelima. Yani malah sudah siap kursinya
(Menpangad) akan diberikan kepada orang lain. Saat itu
juga beredar isu kuat bahwa kedudukan Yani sebagai
Menpangad akan digantikan oleh wakilnya, Mayjen Gatot
Subroto. Presiden Soekarno memerintahkan agar Yani
menghadap ke Istana pada 1 Oktober 1965 pukul 08.00
WIB. Tetapi hanya beberapa jam sebelumnya Yani diculik
dan dibunuh.
Yang paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal itu
adalah Letkol Untung Samsuri. Sebagai salah satu
komandan Pasukan Kawal Istana - Cakra Birawa - ia
memang harus tanggap terhadap segala kemungkinan yang
membahayakan keselamatan Presiden. Untung gelisah.
Lantas Untung punya rencana mendahului gerakan Dewan
Jenderal dengan cara menangkap mereka. Rencana ini
disampaikan Untung kepada Soeharto. Menanggapi itu
Soeharto mendukung. Malah Untung dijanjikan akan
diberi bantuan pasukan. Ini diceritakan oleh Untung
kepada saya saat kami sama-sama ditahan di LP Cimahi,
Bandung (lengkapnya simak sub-bab Menjalin Sahabat
Lama).
Saya menerima laporan mengenai isu Dewan Jenderal itu
pertama kali dari wakil saya di BPI (Badan Pusat
Intelijen), tetapi sama sekali tidak lengkap. Hanya
dikatakan bahwa ada sekelompok jenderal AD yang
disebut Dewan Jenderal yang akan melakukan kup
terhadap Presiden. Segera setelah menerima laporan,
langsung saya laporkan kepada Presiden. Saya lantas
berusaha mencari tahu lebih dalam. Saya bertanya
langsung kepada Letjen Ahmad Yani tentang hal itu.
Jawab Yani ternyata enteng saja, memang ada, tetapi
itu Dewan yang bertugas merancang kepangkatan di
Angkatan Bersenjata dan bukan Dewan yang akan
melakukan kudeta.
Masih tidak puas, saya bertanya kepada Brigjen
Soepardjo (Pangkopur II). Dari Soepardjo saya mendapat
jawaban yang berbeda. Kata Soepardjo: Memang benar.
Sekarang Dewan Jenderal sudah siap membentuk menteri
baru.
Pada 26 September 1965 muncul informasi yang lebih
jelas lagi. Informasi itu datang dari empat orang
sipil. Mereka adalah Muchlis Bratanata, Nawawi
Nasution, Sumantri dan Agus Herman Simatupang. Dua
nama yang disebut terdahulu adalah orang NU sedangkan
dua nama belakangnya dri IPKI. Mereka cerita bahwa
pada tanggal 21 September 1965 diadakan rapat Dewan
Jenderal di Gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta.
Rapat itu membicarakan antara lain: Mengesahkan
kabinet versi Dewan Jenderal.
Muchlis tidak hanya bercerita, ia bahkan menunjukkan
pita rekaman pembicaran dalam rapat. Dalam rekaman
tersebut ada suara Letjen S. Parman (salah satu korban
G30S) yang membacakan susunan kabinet.
Susunan kabinet versi Dewan Jenderal - menurut rekaman
itu - adalah sebagai berikut:
Letjen AH Nasution sebagai Perdana Menteri
Letjen A Yani sebagai Waperdam-I (berarti menggantikan
saya) merangkap Menteri
Hankam,
Mayjen MT Haryono menjadi Menteri Luar Negeri,
Mayjen Suprapto menjadi Menteri Dalam Negeri,
Letjen S Parman sendiri menjadi Menteri Kehakiman,
Ibnu Sutowo (kelak dijadikan Dirut Pertamina oleh
Soeharto) menjadi menteri Pertambangan.

Rekaman ini lantas saya serahkan kepada Bung Karno.
Jelas rencana Dewan Jenderal ini sangat peka dan
sifatnya gawat bagi kelangsungan pemerintahan Bung
Karno. Seharusnya rencana ini masuk klasifikasi sangat
rahasia. Tetapi mengapa bisa dibocorkan oleh empat
orang sipil? Saya menarik kesimpulan: tiada lain
kecuali sebagai alat provokasi. Jika alat provokasi,
maka rekaman itu palsu. Tujuannya untuk mematangkan
suatu rencana besar yang semakin jelas gambarannya.
Bisa untuk mempengaruhi Untung akan semakin yakin
bahwa Dewan Jenderal - yang semula kabar angin -
benar-benar ada.
Hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal,
muncul Dokumen Gilchrist. Dokumen ini sebenarnya
adalah telegram (klasifikasi sangat rahasia) dari Duta
Besar Inggris untuk Indonesia di Jakarta Sir Andrew
Gilchrist kepada Kementrian Luar Negeri Inggris.
Dokumen itu bocor ketika hubungan Indonesia-Inggris
sangat tegang akibat konfrontasi Indonesia-Malaysia
soal Borneo (sebagian wilayah Kalimantan). Saat itu
Malaysia adalah bekas koloni Inggris yang baru
merdeka. Inggris membantu Malayia mengirimkan pasukan
ke Borneo.
Saya adalah orang yang pertama kali menerima Dokumen
Gilchrist. Saya mendapati dokumen itu sudah tergeletak
di meja kerja saya. Dokumen sudah dalam keadaan
terbuka, mungkin karena sudah dibuka oleh staf saya.
Menurut laporan staf, surat itu dikirim oleh seorang
kurir yang mengaku bernama Kahar Muzakar, tanpa
identitas lain, tanpa alamat. Namun berdasarkan
informasi yang saya terima, surat tersebut mulanya
tersimpan di rumah Bill Palmer, seorang Amerika yang
tinggal di Jakarta dan menjadi distributor film-film
Amerika. Rumah Bill Palmer sering dijadikan
bulan-bulanan demonstrasi pemuda dari berbagai
golongan. Para pemuda itu menentang peredaran film
porno yang diduga diedarkan dari rumah Palmer.
Isi dokumen itu saya nilai sangat gawat. Intinya:
Andrew Gilchrist melaporkan kepada atasannya di Kemlu
Inggris yang mengarah pada dukungan Inggris untuk
menggulingkan Presiden Soekarno. Di sana ada
pembicaraan Gilchrist dengan seorang kolega Amerikanya
tentang persiapan suatu operasi militer di Indonesia.
Saya kutip salah satu paragraf yang berbunyi demikian:
rencana ini cukup dilakukan bersama 'our local army
friends.'
Sungguh gawat. Sebelumnya sudah beredar buku yang
berisi rencana Inggris dan AS untuk menyerang
Indonesia. Apalagi, pemerintah Inggris tidak pernah
melontarkan bantahan, padahal sudah mengetahui bahwa
dokumen rahasia itu beredar di Indonesia. Saya selaku
kepala BPI mengerahkan intelijen untuk mencek
otentisitas dokumen itu.
Hasilnya membuat saya yakin bahwa Dokumen Gilchrist
itu otentik.
Akhirnya dokumen tersebut saya laporkan secara lengkap
kepada Presiden Soekarno. Reaksinya, beliau terkejut.
Berkali-kali beliau bertanya keyakinan saya terhadap
keaslian dokumen itu. Dan berkali-kali pula saya jawab
yakin asli. Lantas beliau memanggil para panglima
untuk membahasnya. Dari reaksi Bung Karno saya
menyimpulkan bahwa Dokumen Gilchrist tidak saja
mencemaskan, tetapi juga membakar. Bung Karno sebagai
target operasi seperti merasa terbakar. Namun sebagai
negarawan ulung, beliau sama sekali tidak menunjukkan
tanda-tanda kecemasan. Menurut penglihatan saya, tentu
Bung Karno cemas. Saya menyimpulkan, Bung Karno sedang
terbakar oleh provokasi itu.
Terlepas dari asli-tidaknya dokumen itu, saya menilai
bahwa ini adalah alat provokasi untuk memainkan TNI AD
dalam situasi politik Indonesia yang memang tidak
stabil. Saya mengatakan provokasi jika ditinjau dari
dua hal. Pertama: isinya cukup membuat orang yang
menjadi sasaran merasa ngeri. Kedua, dokumen sengaja
dibocorkan agar jatuh ke tangan pendukung-pendukung
Bung Karno dan PKI. Bagaimana mungkin dokumen rahasia
seperti itu berada di rumah Palmer yang menjadi
bulan-bulanan demo pemuda. Apakah itu bukan suatu cara
provokasi?
Saya katakan jika Dokumen Gilchrist sebagai upaya
provokasi, maka itu adalah provokasi pertama.
Sedangkan provokasi kedua adalah isu Dewan Jenderal.
Jika diukur dari kebiasaan aktivitas terbuka, maka
sumber utama dua alat provokasi itu memang cukup rumit
untuk dipastikan.
Di sisi lain, Soeharto juga bermain dalam isu Dewan
Jenderal. Beberapa waktu sebelum G30S meletus, Yoga
diutus oleh Soeharto untuk menemui Mayjen S Parman
guna menyampaikan saran agar Parman berhati-hati
karena isu bakal adanya penculikan terhadap
jenderal-jenderal sudah santer beredar. Namun tidak
ada yang tahu siapa yang menyebarkan isu seperti itu.
Parman tidak terlalu serius menanggapi saran itu,
sebab itu hanya isu. Parman bertanya kepada Yoga:
Apakah pak Yoga sudah punya bukti-bukti? Yang ditanya
menjawab: Belum, pak. Lantas Parman menyarankan agar
Yoga mencari bukti. Jangan hanya percaya isu sebelum
ada bukti, kata Parman. Yoga menyanggupi akan
mencarikan bukti.
Setelah G30S meletus, saya teringat saran Yoga kepada
Parman itu. Yoga adalah anggota Trio Soeharto. Saya
kemudian berkesimpulan bahwa informasi yang
disampaikan oleh Yoga kepada Parman itu bertujuan
untuk mengetahui reaksi Parman yang dikenal dekat
dengan Yani. Info tersebut tentu untuk memancing,
apakah Parman sudah tahu. Sekaligus - jika
memungkinkan - mengungkap seberapa jauh atisipasi
Parman terhadap isu tersebut. Dan karena Parman adalah
teman dekat Yani, reaksi Parman ini bisa disimpulkan
sebagai mewakili persiapan Yani.
Dengan reaksi Parman seperti itu, maka bisa
disimpulkan bahwa Parman sama sekali tidak
mengantisipasi arah selanjutnya jika seandainya Dewan
Jenderal benar-benar ada. Parman tidak siap meghadapi
kemungkinan yang bakal terjadi selanjutnya. Ini juga
bisa disimpulkan bahwa Yani juga tidak siap. Jika ini
saya kaitkan dengan pertanyaan saya pada Yani soal isu
Dewan Jenderal, maka jelas-jelas bahwa Yani tidak
punya persiapan sama sekali.
Intinya, info dari Yoga kepada Parman berbalas info,
sehingga kelompok Soeharto mendapatkan info bahwa
kelompok Yani sama sekali belum siap mengantisipasi
kemungkinan terjadinya penculikan. Lebih jauh, rencana
Soeharto melakukan gerakan dengan memanfaatkan Kolonel
Latief dan memanipulasi kelompok Letkol Untung, belum
tercium oleh kelompok lawan: Kelompok Yani.
Jika seandainya gerakan gagal mencapai tujuan
(khususnya bila Parman tidak berhasil dibunuh), maka
peringatan Yoga akan lain maknanya. Peringatan itu
bisa berubah menjadi jasa Soeharto menyelamatkan
Parman. Maka Soeharto tetap tampil sebagai pahlawan.
Jadi tindakan Soeharto ini benar-benar strategis.
PERAN AMERIKA SERIKAT
Apakah AS berperan memlintir isu sakitnya Presiden dan
Dewan Jenderal? Sudah jelas AS takut Indonesia
dikuasai oleh komunis. Dan karena Bung Karno cenderung
kiri, maka proyek mereka ada dua: hancurkan PKI dan
gulingkan Bung Karno.
Selain tidak suka pada Bung Karno, AS juga punya
kepentingan ekonomis di Indonesia dan secara umum di
Asia. Sebagai gambaran: Malaysia hanya kaya akan karet
dan timah;
Brunei Darussalam hanya kaya minyak; sedangkan
Indonesia memiliki segalanya di bidang tambang dan
hasil bumi. Terlebih wilayahnya jauh lebih luas
dibandingkan dengan Malaysia dan Brunei. Secara
kongkrit bisnis minyak AS di Indonesia (Caltex) serta
beberapa perusahaan lainnya - bagi AS - harus aman.
Karena itu politik Bung Karno dianggap membahayakan
kepentingan AS di Indonesia. Namun mereka kesulitan
mengubah sikap Bung Karno yang tegas. Ada upaya AS
untuk membujuk Bung Karno agar mengubah sikap
politiknya tetapi gagal. Secara politis Bung Karno
juga sangat kuat. Di dalam negeri Bung Karno didukung
oleh Angkatan Bersenjata dan PKI. Tak kalah
pentingnya, rakyat sungguh kagum dan simpati
terhadapnya. Di luar negeri ia mendapat dukungan dari
negara-negara Asia Tenggara dengan politik
Non-Bloknya.
Itulah sebabnya, secara intuitif saya yakin bahwa AS
ikut main di dua isu itu. Soal sakitnya Presiden,
target mereka bukan menjebak PKI melakukan gerakan -
sehingga PKI masuk ladang pembantaian - sebab Aidit
tahu persis Presiden hanya masuk angin.
Plintiran isu tersebut lebih untuk konsumsi publik.
Jika suatu saat ada gerakan perebutan kekuasaan, maka
akan terlihat wajar bila gerakan itu dilakukan oleh
PKI. Jika Presiden sakit keras, wajar PKI merebut
kekuasaan, karena takut negara akan dikuasai oleh
militer. Dan karena itu, wajar pula jika PKI dihabisi
oleh militer.
Dewan Jenderal lebih banyak dimainkan oleh pemain
lokal, meskipun AS bisa membantu dengan isu senjata
dari RRT, Angkatan Kelima dan penolakan Yani terhadap
Angkatan Kelima. Tetapi Dokumen Gilchrist jelas ada
pemain Amerikanya. Dokumen itu awalnya disimpan di
rumah warga Amerika Bill Palmer. Dokumen tersebut
menurut saya otentik, namun mengapa dibocorkan?
Itu semua secara intiusi. Faktanya: pada pertengahan
November 1965 AS mengirim bantuan obat-obatan dalam
jumlah besar ke Indonesia. Bantuan tersebut
mengherankan saya. Indonesia tidak sedang dilanda
gempa bumi. Juga tidak ada bencana atau perang. Yang
ada adalah bahwa pada 1 Oktober 1965 terjadi
pembantaian enam jenderal dan seorang letnan. Seminggu
sesudahnya, AD di bawah pimpinan Soeharto dan dibantu
oleh para pemuda membantai PKI. Pada saat obat-obatan
itu dikirim kira-kira sudah 40 ribu anggota PKI dan
simpatisannya dibantai. Nah, di sinilah pengiriman
obat-obatan itu menjadi janggal. Suatu logika yang
sangat aneh jika AS membantu obat-obatan untuk PKI.
Baru beberapa waktu kemudian saya mendapat laporan
bahwa kiriman obat-obatan itu hanya kamuflase; hanya
sebuah selubung untuk menutupi sesuatu yang jauh lebih
penting. Sebenarnya itu adalah kiriman senjata untuk
membantu tentara dan pemuda membantai PKI. Sayangnya,
pengetahuan saya tentang hal ini sudah sangat
terlambat. Bung Karno sudah menjelang ajal politik.
Paling tidak ini menambah keyakinan saya bahwa AS ikut
bermain dalam rangkaian G30S.
Bagi AS, menghancurkan komunis di Indonesia sangat
tinggi nilainya untuk menjamin dominasi AS diAsia
Tenggara. Di sisi lain, reputasi mereka di bidang
subversif sudah dibuktikan dengan tampilnya agen-agen
CIA yang berpengalaman menghancurkan musuh di berbagai
negara, walaupun reputasi itu di dalam negeri malah
dikecam habis-habisan oleh rakyat AS sendiri.
Salah satu agen CIA yang andal adalah Marshall Green
(Dubes AS untuk Indonesia). Reputasinya di bidang
subversif tak diragukan lagi. Sebelum bertugas di
Indonesia ia adalah Kuasa Usaha AS di Korea Selatan.
Di sana ia sukses menjalankan misi AS membantu
pemberontakan militer oleh Jenderal Park Chung Hee
yang kemudian memimpin pemerintahan militer selama
tiga dekade. Di Indonesia ia menggantikan Howard Jones
menjelang meletusnya G30S. Jadi pemain penting asing
dalam drama 1 Oktober 1965 itu adalah Green dan Jones.
Tentu CIA tidak dapat bekerja sendiri menghancurkan
komunis di Indonesia. Apalagi pada Februari 1965 AS
memulai pemboman pertama di Vietnam Utara. Praktis
konsentrasinya - khusus untuk penghancuran komunis -
terbagi. Baik di Indonesia maupun Vietnam Utara,
mereka butuh mitra lokal.
Di Indonesia mereka merekrut Kamaruzaman yang lebih
terkenal dengan panggilan Sjam sebagai spion. Sjam
adalah tentara sekaligus orang PKI. Kedudukan Sjam di
PKI sangat strategis yaitu sebagai Ketua Biro Khusus
PKI yang bisa berhubungan langsung dengan Ketua PKI DN
Aidit. Sebaliknya, para perwira kelompok kontra Dewan
Jenderal memberi informasi kepada saya bahwa Sjam
sering memimpin rapat intern AD. Tidak jelas benar,
apakah Sjam itu tentara yang disusupkan ke dalam tubuh
PKI atau orang PKI yang disusupkan ke dalam AD. Tetapi
jelas ia adalah mitra lokal CIA. Dan CIA beruntung
memiliki mitra lokal yang berdiri di dua kubu yang
berseberangan.
Tetapi permainan Sjam sangat kasar. Ingat
pernyataannya bahwa pada tanggal 12 Agustus 1965 ia
mengaku dipanggil oleh Aidit untuk membahas betapa
seriusnya sakit Presiden. Juga Kemungkinan Dewan
Jenderal mengambil tindakan segera jika Presiden
meninggal. Itu dikatakan setelah Aidit dibunuh.
Di pengadilan Sjam mengatakan bahwa perintah menembak
para jenderal datang dari dia sendiri, namun itu atas
perintah Aidit yang disampaikan kepadanya. Inilah
satu-satunya pernyataan yang memberatkan Aidit selain
keberadaan Aidit di Halim pada taggal 30 September
1965 malam. Namun Aidit tidak sempat bicara sebab dia
ditembak mati oleh Kolonel Yasir Hadibroto (kelak
dijadikan Gubernur Lampung oleh Soeharto) beberapa
hari setelah G30S di Boyolali, Jateng.
Jika Sjam itu seorang tentara, ia ibarat martil.
Keterangannya sangat menguntungkan pihak yang
menghancurkan PKI. Namun setelah bertahun-tahun
berstatus tahanan, Sjam diadili dan dihukum mati.
Keberpihakannya kepada PKI, AD dan AS akhirnya tidak
bermanfaat bagi dirinya sendiri.
MENJALIN SAHABAT LAMA
Ini adalah bagian yang mengungkap keterlibatan
Soeharto dalam G30S. Dia menjalin hubungan dengan dua
sahabat lama - Letkol TNI AD Untung Samsuri dan
Kolonel TNI AD Abdul Latief - beberapa waktu sebelum
meletus G30S. Untung kelak menjadi komandan pasukan
yang menculik dan membunuh 7 perwira, sedangkan Latief
hanya dituduh terlibat dalam peristiwa itu.
Untung adalah anak buah Soeharto ketika Soeharto masih
menjabat sebagai Panglima Divisi Diponegoro, Jateng.
Untung bertubuh agak pendek namun berjiwa pemberani.
Selama beberapa bulan berkumpul dengan saya di Penjara
Cimahi, Bandung, saya tahu persis bahwa Untung tidak
menyukai politik. Ia adalah tipe tentara yang loyal
kepada atasannya, sebagaimana umumnya sikap prajurit
sejati. Kepribadiannya polos dan jujur. Ini terbukti
dari fakta bahwa sampai beberapa saat sebelum
dieksekusi, dia masih tetap percaya bahwa vonis
hukuman mati terhadap dirinya tidak mungkin
dilaksanakan. Percayalah, pak Ban, vonis buat saya itu
hanya sandiwara, katanya suatu hari pada saya. Kenapa
begitu? Karena ia percaya pada Soeharto yang mendukung
tindakannya: membunuh para jenderal. Soal ini akan
dibeberkan di bagian lebih lanjut.
Sekitar akhir 1950-an Soeharto dan Untung pisah
kesatuan. Namun pada tahun 1962 mereka berkumpul lagi.
Mereka dipersatukan oleh tugas merebut Irian Barat
dari tangan Belanda. Saat itu Soeharto adalah Panglima
Komando Mandala, sedangkan Untung adalah anak buah
Soeharto yang bertugas di garis depan. Dalam tugas
itulah keberanian Untung tampak menonjol: ia memimpin
kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan
belantara Kaimana. Operasi pembebasan Irian akirnya
sukses. Pada tanggal 15 Oktober 1962 Belanda
menyerahkan Irian kepada PBB. Lantas pada tanggal 1
Mei 1963 Irian diserahkan oleh PBB ke pangkuan RI.
Keberanian Untung di medan perang sampai ke telinga
Presiden. Karena itu Untung dianugerahi Bintang
Penghargaan oleh Presiden Soekarno karena
keberaniannya.
Setelah itu Untung dan Soeharto berpisah lagi dalam
hubungan garis komando. Presiden Soekarno menarik
Untung menjadi salah satu komandan Batalyon Kawal
Istana, Cakra Bhirawa. Sedangkan Soeharto akhirnya
menjadi Pangkostrad. Namun tugas baru Untung itu
membuat Soeharto marah. Soeharto ingin merekrut Untung
masuk ke Kostrad menjadi anak-buahnya, karena ia tahu
bahwa Untung itu pemberani. Tetapi apa mau dikata,
Presiden sudah terlanjur menarik Untung ke dalam
pasukan elite kawal Istana. Soeharto hanya bisa
kecewa.
Saat itu konflik Bung Karno dan PKI di satu sisi
dengan para pimpinn AD di sisi lain belum terlalu
tajam. Dalam perkembangannya, konflik Bung Karno dan
PKI dengan AD itu semakin memuncak. Konflik itu
diikuti oleh polarisasi kekuatan politik dan militer
yang semakin meningkat, sehingga dapat disimpulkan
bahwa sewaktu-waktu konflik bisa mengarah ke suatu
kondisi yang mengkhawatirkan. Sebab Bung Karno adalah
pemimpin yang kharismatik yang didukung oleh rakyat
dan sebagian besar perwira Angkatan Bersenjata,
kecuali sebagian kecil perwira AD. Di sisi lain, PKI -
seperti sudah saya sebutkan di muka - saat itu
memiliki massa dalam jumlah sangat besar. Bisa
dibayangkan apa yang bakal terjadi jika konflik ini
semakin tajam.
Nah, saat konflik meningkat itulah justru Soeharto
bersyukur bahwa Untung menjadi salah satu komandan
Batalyon Kawal Istana Cakra Bhirawa. Kedudukan Untung
di sana menjadi titik strategis dipandang dari sisi
Soeharto yang menunggu momentum untuk merebut
kekuasaan negara. Maka hubungan Soeharto-Untung
kembali membaik, meskipun beberapa waktu sebelumnya
Soeharto sempat marah dan membenci Untung. Bukti
membaiknya hubungan itu adalah bahwa beberapa waktu
kemudian, di akhir 1964, Untung menikah di Kebumen dan
Soeharto bersama istrinya, Ny. Soehartinah (Tien)
menghadiri resepsinya di Kebumen.
Seorang komandan menghadiri pernikahan bekas anak-buah
adalah hal yang sangat wajar, memang. Tetapi jarak
antara Jakarta-Kebumen tidak dekat. Apalagi saat itu
sarana transportasi dan terutama kondisi jalan sangat
tak memadai. Jika tak benar-benar sangat penting,
tidak mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri
pernikahan Untung. Langkah Soeharto mendekati Untung
ini terbaca di kalangan elite politik dan militer saat
itu, tetapi mereka hanya sekadar heran pada perhatian
Soeharto terhadap Untung yang begitu besar.
Di sisi lain, Soeharto juga membina persahabatan lama
dengan Kolonel Abdul Latief yang juga bekas
anak-buahnya di Divisi Diponegoro. Latief adalah juga
seorang tentara pemberani. Ia adalah juga seorang yang
saya nilai jujur. Namun, berbeda dengan Untung, Latief
mengantongi rahasia skandal Soeharto dalam Serangan
Oemoem 1 Maret 1949 di Yogya. Dalam serangan itu
Belanda diusir dari Yogya (ketika itu ibu-kota RI)
hanya dalam waktu enam jam. Itu sebabnya serangan ini
disebut juga Enam jam di Yogya, yang dalam sejarah
disebut sebagai Operasi Janur Kuning karena saat
operasi dilaksanakan semua pasukan yang berjumlah
sekitar 2000 personil (termasuk pemuda gerilyawan)
diharuskan mengenakan janur kuning (sobekan daun
kelapa) di dada kiri sebagai tanda. Yang tidak
mengenakan tanda khusus ini bisa dianggap sebagai
mata-mata Belanda dan tidak salah jika ditembak mati.
Soeharto (di kemudian hari) mengklaim keberhasilan
mengusir Belanda itu atas keberaniannya. Serangan
Oemoem 1 Maret 1949 itu katanya, adalah ide dia. Soal
ini sudah diungkap di berbagai buku, bahwa serangan
tersebut adalah ide Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Soeharto adalah komandan pelaksana serangan. Namun
bagi Latief persoalan ini terlalu tinggi. Latief hanya
merupakan salah satu komandan kompi. Hanya saja
karena dia kenal Soeharto sewaktu masih sama-sama di
Kodam Diponegoro, ia dekat dengan Soeharto. Letief
tidak bicara soal ide serangan. Ia hanya bicara soal
teknis pertempuran.
==============
Tentara kita menyerbu kota dari berbagai penjuru mulai
pukul 06.00 WIB, persis saat sirene berbunyi tanda jam
malam berakhir. Diserbu mendadak oleh kekuatan yang
begitu
--

Tentara kita menyerbu kota dari berbagai penjuru mulai
pukul 06.00 WIB, persis saat sirene berbunyi tanda jam
malam berakhir. Diserbu mendadak oleh kekuatan yang
begitu besar, Belanda terkejut. Perlawanan mereka sama
sekali tidak berarti bagi pasukan kita. Mereka sudah
kalah strategi, diserang mendadak dari berbagai
penjuru kota oleh pasukan yang jumlahnya demikian
banyak. Tangsi-tangsi Belanda banyak yang berhasil
direbut tentara kita. Namun Belanda sempat minta
bantuan pasukan dari kota lain. Walaupun bala bantuan
pasukan Belanda datang agak terlambat, namun mereka
memiliki persenjataan yang lebih baik dibanding
tentara kita. Mereka juga mengerahkan kendaraan lapis
baja. Pada saat itulah terjadi pertempuran hebat di
seantero Yogyakarta.
Pada scope lebih kecil, kelompok pasukan pimpinan
Latief kocar-kacir digempur serangan balik pasukan
Belanda. Dalam kondisi seperti itu Latief
memerintahkan pasukannya mundur ke Pangkalan Kuncen
sambil tetap berupaya memberikan tembakan balasan.
Setelah di garis belakang, Latief memeriksa sisa
pasukan. Ternyata tinggal 10 orang tentara. Di saat
mundur tadi sekilas diketahui 12 orang terluka dan 2
orang gugur di tempat. Mereka yang luka terpaksa
ditinggal di medan pertempuran, sehingga kemungkinan
besar juga tewas, sedangkan pemuda gerilyawan (juga di
bawah kompi Latief) yang tewas 50 orang.
Nah, saat Latief bersama sisa pasukannya berada di
garis belakang itulah mereka berjumpa Soeharto. Apa
yang sedang dilakukan Soeharto? Dia sedang santai
makan soto babat, ujar Latief. Ketika itu perang
sedang berlangsung. Ribuan tentara dan pemuda
gerilyawan tengah beradu nasib menyabung nyawa,
merebut tanah yang diduduki oleh penjajah. Toh, Latief
dengan sikap tegap prajurit melapor kepada Soeharto
tentang kondisi pasukannya. Soeharto ternyata juga
tidak berbasa-basi misalnya menawari Latief dan
anak-buahnya makan. Sebaliknya Soeharto langsung
memerintahkan Latief bersama sisa pasukannya untuk
menggempur belanda yang ada di sekitar Kuburan Kuncen,
tidak jauh dari lokasi mereka.
Belanda akhirnya berhasil diusir dari Yogyakarta dalam
tempo enam jam. Secara keseluruhan dalam pertempuran
itu pasukan kita menang, meskipun dalam scope kecil
pasukan pimpinan Latief kocar-kacir. Komandan dari
seluruh pasukan itu adalah Soeharto yang - boleh saja
- menepuk dada membanggakan keberaniannya. Bahkan
Soeharto kemudian bertindak jauh lebih berani lagi
dengan mengakui bahwa ide serangan itu dalah idenya
(yang kini terbukti tidak benar). Namun soal Soto
babat menjadi skandal tersendiri bagi figur seorang
komandan pasukan tempur di mata Latief. Dan skandal
ini diungkap oleh Latief pada saat dia diadili di
Mahkamah Militer dengan tuduhan terlibat G30S. Kendati
begitu, skandal ini tidak menyebar karena saat itu
Soeharto sudah berkuasa. Soeharto sudah menjadi pihak
yang menang dan Latief menjadi pihak yang kalah. Apa
pun informasi dari pihak yang kalah sudah pasti
disalahkan oleh pihak yang menang.
Setelah Serangan Oemoem 1 Maret, Soeharto-Latief pisah
kesatuan. Soeharto akhirnya menjadi Pangkostrad,
sementara Latief akhirnya menjadi Komandan Brigade
Infanteri I Jaya Sakti, Kodam Jaya. Posisi Latief
cukup strategis. Maka Soeharto kembali membina
hubungan lama dengan Latief . Jika Untung didatangi
oleh Soeharto saat menikah di Kebumen, Latief juga
didatangi di rumahnya oleh Soeharto dan istrinya saat
Latief mengkhitankan anaknya. Saya menilai, Soeharto
mendekati Latief dalam upaya sedia payung sebelum
hujan, sebab suatu saat nanti Latief akan dimanfaatkan
oleh Soeharto.
Kini cerita lama terulang kembali. Jika dulu Soeharto
membentuk trio bersama Yoga Soegama dan Ali Moertopo,
kini bersama Untung dan Latief. Semuanya teman-teman
lama Soeharto ketika masih di Jawa Tengah. Tetapi trio
kali ini (bersama Untung dan Latief) memiliki posisi
strategis yang lebih tinggi dibanding yang dulu:
Untung adalah orang dekat Presiden. Latief adalah
orang penting di Kodam Jaya yang menjaga keamanan
Jakarta. Targetnya jelas: menuju ke Istana.
Tidak ada orang yang bisa membaca konspirasi trio
tersebut saat itu karena selain trio ini tidak
meledak-ledak, mereka juga tidak berada di posisi
tertinggi di jajaran militer. Namun saya sebagai orang
terdekat Bung Karno sudah punya feeling bahwa
persahabatan mereka bisa menggoyang Istana. Paling
tidak mereka bisa memperkuat apa yang sudah dirintis
oleh Nasution, yakni: menciptakan Negara dalam Negara.
Sebab konflik antara Bung Karno dan AD sudah semakin
tajam.
Selain membentuk trio, Soeharto juga dekat dengan
Brigjen Soepardjo (berasal dari Divisi Siliwangi yang
kemudian ditarik Soeharto ke Kostrad menjabat
PangKopur II).
Pertengahan September 1965 suhu politik di Jakarta
mulai panas. Karena hubungan persahabatan - di luar
jalur komando - Latief menemui Soeharto. Inilah
pertemuan pemting pertama antara Soeharto dan Latief
menjelang G30S. Saat itu isu dewan Jenderal sudah
menyebar. Begitu mereka bertemu, Latief melaporkan isu
tersebut kepada Soeharto. Ternyata Soeharto menyatakan
bahwa ia sudah tahu. Beberapa hari yang lalu saya
diberitahu hal itu oleh seorang teman AD dari Yogya
bernama Soebagyo, katanya. Tidak jelas siapa Soebagyo.
Namun menurut Latief, Soebagyo adalah tentara teman
mereka ketika masih sama-sama di Divisi Diponegoro.
Pada saat yang hampir bersamaan, pada 15 September
1965 Untung mendatangi Soeharto. Untung juga
melaporkan adanya Dewan Jenderal yang akan melakukan
kup. Berbeda dengan Latief, Untung menyatakan bahwa ia
punya rencana akan mendahului gerakan Dewan Jenderal
dengan menangkap mereka lebih dulu, sebelum mereka
melakukan kudeta. Untung memang merupakan pembantu
setia Bung Karno. Dalam posisinya sebagai salah satu
komandan Pasukan Kawal Istana Cakra Bhirawa, sikapnya
sudah benar.
Apa jawab Soeharto? Bagus kalau kamu punya rencana
begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu, kata Soeharto.
Malah Soeharto menawarkan bantuan pasukan kepada
Untung:
Kalau perlu bantuan pasukan, akan saya bantu, katanya.
Untung gembira mendapat dukungan. Ia menerima tawaran
bantuan tersebut. Dan Soeherto juga tidak main-main:
Baik. Dalam waktu secepatnya akan saya datangkan
pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, katanya.
Harap dicatat: pertemuan Soeharto dengan Latief tidak
berkaitan dengan pertemuan Soeharto dengan Untung.
Saya lupa lebih dulu mana, antara Latief bertemu
Soeharto dengan Untung bertemu Soeharto. Yang pasti
itu terjadi di pertengahan bulan September 1965. Pada
awalnya hubungan Soeharto-Untung terpisah dari
hubungan Soeharto-Latief dalam hal Dewan Jenderal.
Namun mereka sama-sama dari Kodam Diponegoro. Hubungan
Untung-Latief juga terjalin baik meskipun sudah
berpisah kesatuan. Akhirnya mereka tahu bahwa Soeharto
mendukung gerakan menangkap Dewan Jenderal.
Bantuan Soeharto ternyata dibuktikan. Beberapa hari
sebelum 1 Oktober 1965, atas perintah Soeharto
didatangkan beberapa batalyon pasukan dari Semarang,
Surabaya dan Bandung. Perintahnya berbunyi: Pasukan
harus tiba di Jakarta dengan perlengkapan tempur
Siaga-I. Lantas secara bertahap pasukan tiba di
Jakarta sejak 26 September 1965. Jelas, pasukan ini
didatangkan khusus untuk menggempur Dewan Jenderal.
Dalam komposisi pasukan penggempur Dewan Jenderal itu,
dua-pertiganya adalah pasukan Soeharto dari daerah dan
Kostrad.
Setelah G30S meletus dan Soeharto balik menggempur
pelakunya, lantas ia menuduh gerakan itu didalangi
PKI. Soeharto membuat aneka cerita bohong. Soal
kedatangan pasukan dari Bandung, Semarang dan Surabaya
itu dikatakan untuk persiapan upacara Hari ABRI 5
Oktober. Dari segi logika sudah tidak rasional.
Rombongan pasukan tiba di Jakarta sejak 26 September
1965 dengan persiapan tempur Siaga-I. Ini jelas tidak
masuk akal jika dikaitkan dengan Hari ABRI. Yang
terpenting: dari laporan intelijen yang saya terima
dan dikuatkan dengan cerita Untung pada saya ketika
kami sudah sama-sama dipenjara, pasukan bantuan
Soeharto itu dimaksudkan untuk mendukung Untung yang
akan menggempur Dewan Jenderal. Ini sudah dibahas oleh
Untung dan Soeharto.
Pertemuan penting kedua Soeharto-Latief terjadi dua
hari menjelang 1 Oktober 1965. Pertemuan dilakukan di
rumah Soeharto di Jalan H Agus Salim. Berdasarkan
cerita Latief kepada saya pada saat kami sama-sama
dipenjara, ketika itu ia melaporkan kepada Soeharto
bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kudeta terhadap
Presiden. Dan Dewan Jenderal akan diculik oleh Pasukan
Cakra Bhirawa. Apa reaksi Soeharto? Dia tidak
bereaksi. Tapi karena saat itu ada tamu lain di rumah
pak Harto, maka kami beralih pembicaraan ke soal lain,
soal rumah, kata Latief.
Pertemuan terakhir Soeharto-Latief terjadi persis pada
tanggal 30 September 1965 malam hari pukul 23.00 WIB
di RSPAD Gatot Subroto. Saat itu Soeharto menunggu
anaknya Hutomo Mandala Putera (Tommy Soeharto) yang
ketumpahan sup panas dan dirawat di sana. Kali ini
Latief melaporkan penculikan para jenderal akan
dilaksanakan pukul 04.00 WIB (sekitar lima jam
kemudian). Kali ini juga tidak ditanggapi oleh
Soeharto.
Sebenarnya yang akan melapor kepada Soeharto saat itu
tiga orang, yakni Latief, Brigjen Soepardjo dan Letkol
Untung. Sebelum Latief menghadap Soeharto, Latief
lebih dulu bertemu dengan Soepardjo dan Untung.
Soepardjo dan Untung datang ke rumah saya malam itu
(30 September 1965) pada pukul 21.00 WIB. Soepardjo
sedang ada urusan, sedangkan Untung kurang berani
bicara pada Soeharto. Soepardjo lantas mengatakan pada
saya: Sudahlah Tif (panggilan Latief), kamu saja yang
menghadap. Katakan ke pak Harto, kami sedang ada
urusan, kata Latief menirukan ucapan Soepardjo.
Setelah Latief bertemu Soeharto, ia lantas kembali
menemui Soepardjo dan Untung yang menunggu di suatu
tempat. Latief dengan wajah berseri-seri melaporkan
kepada teman-temannya bahwa Soeharto berada di
belakang mereka.
Saya ulangi: Pada sekitar pukul 01.00 WIB 1 Oktober
1965, kata Latief kepada Soepardjo dan Untung:
Soeharto berada di belakang mereka.
Beberapa jam kemudian pasukan bergerak mengambil para
jenderal.
Ada yang menarik dari pengakuan Soeharto soal
pertemuan terakhir dirinya dengan Latief pada tanggal
30 September 1965 malam di RSPAD Gatot Subroto itu. Ia
bercerita kepada dua pihak: Pertama kepada wartawan
Amerika Serikat bernama Brackman, pada tahun 1968.
Saat itu ia ditanya oleh Brackman mengapa Soeharto
tidak termasuk dalam daftar jenderal yang akan
diculik.
Kepada Brackman dikatakan demikian: Memang benar dua
hari sebelum 1 Oktober 1965 anak lelaki saya yang
berusia 3 tahun (Hutomo Mandala Putera alias Tommy
Soeharto) ketumpahan sup panas. Dia lantas dibawa ke
RSPAD Gatot Subroto. Pada 30 September 1965 banyak
kawan-kawan saya menjenguk anak saya dan saya juga
berada di RSPAD. Di antara yang datang adalah Latief
yang menanyakan kondisi anak saya. Saat itu saya
sangat terharu atas keprihatinannya pada anak saya.
Tetapi ternyata Latief adalah orang penting dalam kup
yang terjadi. Jadi jelas Latief datang ke RSPAD bukan
untuk menengok anak saya, tetapi untuk mengecek
keberadaan saya. Untuk membuktikan keberadaan saya,
benarkah saya di RSPAD Gatot Subroto? Ternyata Memang
begitu adanya: saya di RSPAD Gatot Subroto hingga
tengah malam, lantas pulang ke rumah.
Pada Juni 1970 Soeharto diwawancarai oleh wartawan Der
Spiegel, Jerman. Der Spiegel juga mengajukan
pertanyaan yang sama dengan Brackman: Mengapa Soeharto
tidak termasuk dalam daftar perwira AD yang diculik
pada tanggal 1 Oktober 1965?
Soeharto mengatakan kepada Der Spiegel demikian:
Latief datang ke RSPAD pukul 23.00 WIB bersama
komplotannya. Tujuannya untuk membunuh saya. Tetapi
itu tidak dilakukan, sebab ia khawatir membunuh saya
di tempat umum.
MELETUSLAH PERISTIWA ITU
Saat G30S meletus saya tidak berada di Jakarta. Saya
melaksanakan tugas keliling daerah yang disebut Turba
(Turun ke bawah). Pada 28 September 1965 saya
berangkat ke Medan, Sumatera Utara. Beberapa waktu
sebelumnya saya keliling Jawa Timur dan Indonesia
Timur. Saat ke Medan rombongan saya berangkat bersama
rombongan Laksamana Muda Udara Sri Muljono Herlambang.
Misinya adalah mematangkan Kabinet Dwikora. Namun
kemudian kami berpisah. Rombongan Sri Muljono
berangkat ke Bengkulu dan Padang, rombongan saya ke
Medan.
Pada tanggal 2 Oktober saya ditilpun langsung oleh
Presiden Soekarno dan diberitahu kejadian sehari
sebelumnya. Dan hari itu juga saya diperintahkan untuk
segera ke Jakarta. Ada pesan Presiden agar saya
berhati-hati: Awas, Ban, hati-hati. Pesawatmu bisa
ditembak jatuh, pesan Presiden. Tetapi saya tetap
kembali ke Jakarta dengan pesawat. Saya tentu saja
sempat was was, sebab yang mengingatkan saya bukan
orang sembarangan. Begitu tiba di Jakarta, saya
langsung menuju Istana Bogor menemui Presiden
Soekarno. Beberapa waktu kemudian saya mengetahui
alasan kenapa Bung Karno memperingatkan saya agar saya
hati-hati. Sebabnya adalah saat Sri Muljono menuju ke
Jakarta, pesawatnya ditembaki di kawasan Tebet
sehingga pesawat berputar-putar mencari tempat
landasan. Akhirnya pesawat mendarat secara darurat di
dekat Bogor.
Saat saya tiba di Bogor, suasana sudah jauh berubah
dibanding sebelum saya berangkat ke Medan. Wajah Bung
Karno tampak tegang. Leimena dan Chaerul Saleh sedang
mendiskusikan berbagai hal. Saya mendapat laporan
bahwa pada saat itu Bung Karno sudah berada dalam
tawanan Soeharto. Bung Karno tidak diperbolehkan
meninggalkan Istana Bogor.
Sehari sebelumnya, peristiwa hebat terjadi di Jakarta.
Tujuh perwira AD diculik yang kemudian dibunuh pada
dini hari. Saya mendapat laporan dari para kolega dan
para intel anak buah saya di BPI. Sampai berhari-hari
kemudian saya terus mengumpulkan informasi dari para
kolega dan anak-buah saya. Rangkaian informasi yang
saya terima tentang kejadian seputar 30 September 1965
hingga pembunuhan para jenderal itu sebagian saya
catat, sebagian tidak.
Saya masih ingat hampir seluruhnya. Semua informasi
yang saya terima, termasuk berbagai gejala yang sudah
saya ketahui sebelumnuya, dapat saya ungkapkan di
sini. Namun paparan saya akan terasa kurang
menimbulkan kenangan yang kuat jika tidak dibandingkan
dengan sejarah versi Orde Baru. Itu sebabnya, di
beberapa bagian saya kutip sebagian cerita versi
Soeharto sebagai pembanding.
Pada tanggal 29 September 1965 pagi hari, Panglima AU
Oemar Dhani melaporkan kepada Presiden Soekarno
tentang banyaknya pasukan yang datang dari daerah ke
Jakarta. Beberapa waktu sebelumnya, saya melaporkan
kepada Bung Karno adaya sekelompok perwira AD yang
tidak puas terhadap Presiden - yang menamakan diri
Dewan Jenderal -termasuk bocoran rencana Dewan
Jenderal membentuk kabinet. Saya juga melapor tentang
Dokumen Gilchrist. Semua laporan bertumpuk menjadi
satu di benak Bung Karno. Dengan akumulasi aneka
laporan yang mengarah pada suatu peristiwa besar itu,
saya yakin Bung Karno masih bertanya-tanya, apa
gerangan yang bakal terjadi.
Menurut pengakuan Soeharto, menjelang dini hari 1
Oktober 1965 ia meninggalkan anaknya di RSPAD Gatot
Subroto dan pulang ke rumahnya di Jalan H Agus Salim.
Menurutnya, saat meninggalkan RSPAD itu ia sendirian
(tanpa pengawal) dengan mengendarai jeep Toyota. Dari
RSPAD mobilnya melewati depan Makostrad, lantas masuk
ke Jalan Merdeka Timur. Ia mengaku di sana sempat
merasakan suasana yang tidak biasa. Di sekitar Jalan
Merdeka Timur berkumpul banyak pasukan, tetapi
Soeharto terus berlalu dan tidak menghiraukan puluhan
pasukan yang berkumpul di Monas.
Setelah itu Soeharto mengaku pulang ke rumah dan tidur
(ini dikatakan Soeharto di beberapa kesempatan
terbuka). Lantas pagi harinya pukul 05.30 WIB dia
mengaku dibangunkan oleh seorang tetangganya dan
diberitahu bahwa baru saja terjadi penculikan terhadap
para jenderal. Setelah itu saya langsung menuju ke
markas Kostrad, kata Soeharto.
Pengakuan Soeharto itu luar biasa aneh:
1. di saat Jakarta dalam kondisi sangat tegang ia
menyetir mobil sendirian, tanpa pengawal. Jangankan
dalam situasi seperti itu, dalam kondisi biasa saja ia
selalu dikawal.
2. ia melewati Jalan Merdeka Timur dan mengaku
melihat puluhan prajurit berkumpul dan merasakan
sesuatu yang tidak biasa, tetapi tidak dia hiraukan.
Sebagai seorang komandan pasukan, tidakkah dia ingin
tahu apa yang akan dilakukan oleh puluhan prajurit
yang berkumpul pada tengah malam seperti itu?
3. pada pagi hari 1 Oktober 1965 pukul 05.30 WIB
siapa yang bisa mengetahui bahwa baru saja terjadi
penculikan terhadap para jenderal? Saat itu belum ada
berita televisi seperti sekarang (semisal Liputan 6
Pagi SCTV) yang dengan cepat bisa memberitakan suatu
kejadian beberapa jam sebelumnya. Radio RRI saja baru
memberitakan peristiwa itu pada pukul 07.00 WIB.
Yang sebenarnya terjadi:
Soeharto sudah tahu bahwa pasukan yang berkumpul di
dekat Monas itu akan bergerak mengambil para anggota
Dewan Jenderal. Toh dia sendiri yang mendatangkan
sebagian besar (kira-kira dua-pertiga) pasukan
tersebut dari Surabaya, Semarang dan Bandung. Ingat:
Soeharto menawarkan bantuan pasukan yang diterima
dengan senang hati oleh Untung.
Pasukan dari daerah dengan perlengkapan tempur Siaga-I
itu bergabung dengan Pasukan Kawal Istana Cakra
Bhirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat
Monas. Selain itu, beberapa jam sebelumnya Soeharto
menerima laporan dari Latief bahwa pasukan sudah dalam
keadaan siap mengambil para jenderal. Maka wajar saja
tengah malam itu Soeharto mengendarai jeep sendirian,
meskipun Jakarta dalam kondisi sangat tegang. Malah
ia dengan tenangnya melewati tempat berkumpulnya
pasukan yang beberapa saat lagi berangkat membunuh
para jenderal. Bagi Soeharto tidak ada yang perlu
ditakutkan.
Ia justru melakukan kesalahan fatal dengan mengatakan
kepada publik bahwa ia sempat melihat sekelompok
pasukan berkumpul di dekat Monas dan ia membiarkan
saja. Jika ia memposisikan diri sebagai orang yang
tidak tahu rencana pembunuhan para jenderal, mestinya
ia tidak menyatakan seperti itu dalam buku biografinya
dan di berbagai kesempatan terbuka. Dengan
pernyataannya membiarkan pasukan bergerombol di dekat
Monas, bisa menyeret dirinya dalam kesulitan besar.
Masak seorang Panglima Kostrad membiarkan sekelompok
pasukan bergerombol di dekat Monas pada tengah malam,
padahal dia melihatnya sendiri.
Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa tengah malam itu
ia tidak pulang ke rumah seperti ditulis dalam buku
biografinya. Yang benar: setelah melewati Jalan
Merdeka Timur dan melihat persiapan sekumpulan
pasukan, ia lantas menuju ke Markas Kostrad. Di
Makostrad ia memberi pengarahan kepada sejumlah
pasukan bayangan dan operasi Kostrad yang mendukung
gerakan pengambilan para jenderal. Dengan kronologi
yang sebenarnya ini, maka seharusnya tidak perlu ada
cerita Soeharto pulang ke rumah lantas tidur.
Dengan pengakuannya itu Soeharto rupanya ingin
menunjukkan seolah-olah ia jujur dengan mengatakan
bahwa pada dini hari 1 Oktober 1965 ia memang berada
di Makostrad. Tapi prosesnya dari RSPAD, pulang dulu,
lantas tidur, dibangunkan tetangga dan diberitahu ada
penculikan pukul 05.30 WIB, baru kemudian berangkat ke
Makostrad.
Kalau Soeharto memposisikan diri sebagai orang yang
tidak bersalah dalam G30S, maka pengakuannya itu
merupakan kesalahan yang sangat fatal. Sebab tidak
mungkin ada orang yang tinggal di Jalan H Agus Salim
(tetangga Soeharto) mengetahui ada penculikan para
jenderal dan membangunkan tidur Soeharto pada pukul
05.30 WIB. Padahal penculikan dan pembunuhan para
jenderal baru terjadi beberapa menit sebelumnya,
sekitar pukul 04.00 WIB.
Satu pertanyaan sangat penting dari tragedi pagi buta
1 Oktober 1965 adalah mengapa para jenderal itu tidak
dihadapkan kepada Presiden Soekarno. Logikanya jika
anggota Dewan Jenderal diisukan akan melakukan kudeta,
mestinya dihadapkan ke Presiden Soekarno untuk diminta
penjelasannya tentang isu rencana kudeta. Masalahnya
tentu bakal menjadi lain jika para jenderal tidak
dibunuh, tetapi diajukan kepada Presiden untuk
konfirmasi.
Namun G30S sebagai suatu kekuatan sebenarnya sudah
ditentukan jauh sebelum peristiwanya meletus. Dari
perspektif Soeharto, masa hidup gerakan ini tidak
ditentukan oleh kekuatannya melainkan oleh masa
kegunaannya. Setelah para jenderal dibantai, maka
habislah masa kegunaan G30S. Dan sejak itu pula masa
hidupnya harus diakhiri. Meskipun Untung, Latief dan
Soepardjo berupaya ingin mempertahankan kelanggengan
G30S, tetapi umurnya hanya beberapa jam saja. Setelah
itu pelakunya diburu dan dihabisi. Soeharto dengan
melikuidasi G30S menimbulkan kesan bahwa ia setia
kepada atasannya, Yani dan teman-teman jenderal yang
dibunuh. Ia tampil sebagai pahlawan.
Soal Mengapa Dewan Jenderal diculik, bukan dihadapkan
ke Presiden, ada pengakuan dari salah satu pelaku
penculikan. Menurut Serma Boengkoes (Komandan Peleton
Kompi C Batalyon Kawal Kehormatan) yang memimpin
prajurit penjemput Mayjen MT Haryono, di militer tidak
ada perintah culik. Yang ada adalah tangkap atau
hancurkan. Perintah yang saya terima dari Komandan
Resimen Cakra Bhirawa Tawur dan Komandan Batalyon
Untung adalah tangkap para jenderal itu, kata
Boengkoes setelah ia bebas dari hukuman.
Namun MT Haryono terpaksa dibunuh sebab rombongan
pasukan tidak diperbolehkan masuk rumah oleh istri MT
Haryono. Sang istri curiga, suaminya dipanggil
Presiden kok dini hari. Karena itu pintu rumah
tersebut didobrak dan MT Haryono tertembak. Tidak
jelas apakah Haryono langsung tewas di tempat atau
dibunuh kemudian setelah semua jenderal dikumpulkan di
Pondok Gede (Lubang Buaya).
Sedangkan saat dijemput oleh sejumlah pasukan di
rumahnya, Letjen A Yani terkejut. Bukan karena
penjemputnya pasukan berseragam loreng, tetapi karena
pada hari itu ia memang dijadwalkan untuk menghadap
Presiden Soekarno di Istana Merdeka, pada pukul 08.00
WIB. Presiden sedianya akan bertanya kepada Yani soal
Angkatan Kelima. Yani menolak ide Presiden tentang
Angkatan Kelima sejak beberapa waktu sebelumnya. Malah
sudah beredar isu bahwa Yani akan digantikan oleh
wakilnya yaitu Gatot Subroto.
Dengan dijemput tentara dini hari mungkin Yani merasa
pertemuan dengan Presiden Soekarno diajukan beberapa
jam. Ia dibangunkan dari tidurnya oleh istrinya dan
masih mengenakan piyama. Meskipun kedatangan tentara
penjemputnya menimbulkan kegaduhan di keluarga Yani
yang terkejut, namun Yani menurut. Ia menyatakan
kepada penjemputnya akan ganti pakaian. Tetapi ketika
tentara penjemputnya menyatakan Tidak perlu ganti
baju, jenderal, maka seketika Yani menempeleng tentara
tersebut. Perkataan prajurit seperti itu terhadap
jenderal memang sudah luar biasa tidak sopan. Lantas
Yani masuk ke kamar untuk ganti pakaian. Yani
diberondong tembakan.
Untuk penculikan para jenderal yang lain mungkin
cerita saya mirip dengan yang sudah banyak ditulis di
berbagai buku, baik versi Orde Baru maupun buku yang
terbit setelah Soeharto tumbang. Kurang lebih mirip
seperti itu sehingga tidak perlu saya ceritakan lagi.
Yang penting, peristiwa berdarah di pagi buta pada
tanggal 1 Oktober 1965 (G30S) itu sampai kini masih
ditafsirkan secara berbeda-beda, baik di dalam maupun
di luar negeri. Tetapi jelas substansi peristiwa itu
tidak seperti mitos yang dibuat AD yakni percobaan
kudeta yang didalangi oleh PKI. Versi AD ini sama
sekali tidak benar. Peristiwa itu merupakan provokasi
yang didalangi oleh jenderal-jenderal fasis AD
didukung dengan baik oleh imperialisme internasional.
Peristiwa itu adalah provokasi yang dimanipulasi
secara licik dan efektif serta dikelola secara
maksimal oleh seorang fasis berbaju kehalusan feodal
Jawa yang haus kekuasaan dan harta. Dialah Panglima
Kostrad Mayjen Soeharto.
Pada sisi intern, peristiwa itu bukan hanya merupakan
puncak manifestasi konflik antara pimpinan AD dan PKI,
tetapi juga pertentangan antara pemimpin politik
konservatif dengan aspirasi kapitalisme yang
pembangunannya bergantung pada imperialisme
internasional di satu fihak, melawan PKI dengan
prinsip politik anti-imperialisme dengan aspirasi
negara yang merdeka penuh dan demokrasi berkeadilan
sosial di pihak lain.
Peristiwa itu adalah puncak kemunafikan para pemimpin
politik konsevatif yang mengklaim sebagai paling
demokrat dari sistim demokrasi parlementer. Mereka
berhadapan dengan kemajuan-kemajuan pesat PKI yang
dicapai secara damai dalam sistim demokrasi liberal.
Dari konflik tersebut para pimpinan AD dan sekutunya
lantas mencabut hak hidup PKI dengan cara mambantai
anggota dan keluarganya, lantas membubarkan PKI.
Dari kacamata internasional - terutama disebarkan oleh
mantan Dubes AS untuk Indonesia Howard Jones -
peristiwa itu adalah spontan kekejian rakyat yakni
penyembelihan rakyat yang dilakukan PKI. Sebaliknya
ini adalah bagian dari intrik berdarah yang
direncanakan secara seksama di Mabes Kostrad pimpinan
Soeharto.
DARI DETIK KE DETIK
Pagi 1 Oktober 1965 Bung Karno berada di Halim. Malam
harinya ia menginap di rumah istri Dewi Soekarno di
Slipi (Wisma Yaso). Pagi-pagi setelah mendapat kabar
mengenai penculikan para jenderal, ia berangkat
bersama ajudan Parto menuju Istana negara, namun
menjelang sampai Istana, jalanan diblokade oleh
tentara. Menurut ajudan, pasukan tersebut tidak
dikenal, karena memang tidak ada jadwal blokade jalan
menuju Istana.
Dalam waktu cepat Parto mengambil inisiatif dengan
tidak meneruskan perjalanan ke Istana. Mungkin ia
menangkap firasat bahaya jika Presiden ke Istana.
Lantas Parto mengusulkan Sebaiknya ke Halim saja, pak.
Kalau ada apa-apa dari Halim akan dengan cepat terbang
ke tempat lain, katanya. Bung Karno menurut saja.
Dalam protokoler pengamanan presiden, jika pasukan
pengaman merasa presiden dalam bahaya, maka tujuan
utama adalah lapangan terbang. Dengan begitu presiden
bisa diterbangkan ke mana saja secara cepat.
Itu asal-muasal presiden berada di Halim. Mungkin
Parto (juga Bung Karno) tidak tahu bahwa para jenderal
diculik dan dibawa ke Halim. Sesampainya ke Halim pun
Bung Karno belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Baru setelah beberapa saat di Halim, beliau diberitahu
oleh para pengawal. Beberapa saat kemudian ia menerima
laporan dari Brigjen Soepardjo.
Aidit pagi itu juga berada di Halim. Inilah
keanehannya: para tokoh sangat penting berkumpul di
Halim. Kalau Oemar Dhani berada di sana, itu masih
wajar karena ia adalah pimpinan AURI. Tetapi
keberadaan Aidit di sana sungguh mengherankan. Bung
Karno dan Oemar Dhani berada di satu tempat, sedangkan
Aidit berada di tempat lain sekitar Halim. Setelah
Bung karno terbang ke Istana Bogor (prosesnya dirinci
di bagian lebih lanjut), Aidit terbang ke Jawa Tengah.
Beberapa hari kemudian Aidit ditembak mati oleh
Kolonel Yasir Hadibroto di Brebes, Jawa Tengah.
Menurut kabar resmi Aidit ditembak karena saat
ditangkap ia melawan. Tetapi menurut laporan
intelijen kami Aidit sama sekali tidak melawan.
Soeharto memang memerintahkan tentara untuk menghabisi
Aidit, katanya. Dengan begitu Aidit tidak dapat bicara
yang sebenarnya.
Saya lebih percaya pada laporan intelijen kami, sebab
istri Aidit kemudian cerita bahwa pada tanggal 30
September 1965 malam hari ia kedatangan tamu beberapa
orang tentara. Para tamu itu memaksa Aidit
meninggalkan rumah. Suami saya diculik tentara,
ujarnya. Setelah itu Aidit tidak pernah pulang lagi
sampai ia ditembak mati di Brebes.
Hanya beberapa jam setelah para jenderal dibunuh
sekitar pukul 11.00 WIB, 1 Oktober 1965, Presiden
Soekarno dari pangkalan udara Halim mengeluarkan
instruksi yang disampaikan melalui radiogram ke markas
Besar ABRI. Saat itu Bung Karno hanya menerima
informasi bahwa beberapa jenderal baru saja diculik.
Belum ada informasi mengenai nasib para jenderal,
meskipun sebenarnya para jenderal sudah dibunuh.
Inti instruksi Bung Karno adalah bahwa semua pihak
diminta tenang. Semua pasukan harap stand-by di
posisinya masing-masing. Semua pasukan hanya boleh
bergerak atas perintah saya selaku Presiden dan
Panglima Tertinggi ABRI. Semua persoalan akan
diselesaikan pemerintah/Presiden. Hindari pertumpahan
darah.
Demikian antara lain isi instruksi Presiden.
Instruksi itu ditafsirkan Soeharto bahwa Untung dan
kawan-kawan sudah kalah, karena gerakan menculik dan
membunuh para jenderal tidak didukung oleh Presiden.
Instruksi lantas disambut Soeharto dengan
memerintahkan anak-buahnya menangkap Untung dan
kawan-kawan.
Jelas ini membingungkan Untung. Ia sudah melapor ke
Soeharto soal Dewan Jenderal yang akan melakukan kup
terhadap Presiden Soekarno. Untung juga mengutarakan
niatnya untuk mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan
cara menangkap mereka lebih dulu. Semua ini didukung
oleh Soeharto. Bahkan Soeharto malah memberi bantuan
pasukan.
Setelah anggota dewan Jenderal dibunuh, Soeharto malah
menyuruh Untung ditangkap.
Mengenai soal ini saya ingat cerita Untung kepada saya
saat kami sama-sama dipenjara di Cimahi. Untung dengan
yakin mengatakan bahwa ia tidak akan dieksekusi
meskipun pengadilan sudah menjatuhkan hukuman mati.
Sebab Soeharto yang mendukung saya menghantam Dewan
Jenderal. Malah kami didukung pasukan Soeharto yang
didatangkan dari daerah, katanya. Teman-teman sesama
narapidana politik juga tahu bahwa Untung adalah anak
emas Soeharto. Tapi akhirnya Untung dihukum mati dan
benar-benar dieksekusi.
Hampir bersamaan dengan keluarnya instruksi
Presiden-mungkin hanya selisih beberapa menit kemudian
- Soeharto memanggil ajudan Bung Karno, Bambang
Widjanarko yang berada di Halim agar menghadap
Soeharto di Makostrad. Ini mungkin hampir bersamaan
waktunya dengan perintah Soeharto agar Untung dan
kawan-kawan ditangkap. Di Makostrad Bambang
Widjanarko diberitahu Soeharto agar Presiden Soekarno
dibawa pergi dari Pangkalan Halim sebab pasukan dari
Kostrad di bawah pimpinan Sarwo Edhi Wibo


Blog Dr: http://www.hilman.web.id/posting/blog/226/g30s-pki-versi-dr-soebandrio.html